Rabu, 13 November 2019

SEJARAH MASYARAKAT ISLAM PEGAYAMAN


(Kesenian Bordah, Seni Kolaborasi Budaya Bali dan Islam)


Masyarakat Islam Pegayaman merupakan representasi desa tua yang sudah berdiri sejak zaman Kerajaan Buleleng dengan rajanya Ki Barak Panji Sakti. Keberadaan mereka tidak bisa terlepas dari gejolak peta perpolitikan Raja Ki Barak Panji Sakti. Pada tahun 1968 Ki Barak Panji Sakti melakukan ekspedisi ke Jawa untuk menyerang Kerajaan Blambangan sebagai uji coba pasukan Taruna Goaknya. Pada saat yang sama, pasukan Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Tumenggung Danupaya juga hendak melakukan serangan ke Blambangan. Pergolakan politik di Kerajaan Mataram yang sedang mengalami berbagai pemberontakan terutama Pangeran Alit, adik dari Sultan Agung menyebabkan kekuatan untuk menaklukkan Blambangan tidak penuh. Sebagian pasukan harus berada di Kerajaan Mataram untuk mengantisipasi pemberontakan. Panji Sakti mengetahui kondisi ini dan berniat melakukan kerjasama dengan pasukan Mataram untuk menggempur Blambangan. Di tengah perjalanan, pasukan Panji Sakti bertemu dengan pasukan Mataram dan segera melalukan perundingan. Panji Sakti menawarkan kerja sama dengan Tumenggung Danupaya untuk menggempur Blambangan. Tawaran itu diterima mengingat kekuatan pasukan Mataram yang melakukan ekspedisi tidak penuh. Kolaborasi kekuatan Panji Sakti dan Tumenggung Danupaya berhasil menggempur Blambangan. Sebagai bentuk balas jasa, Tumenggung Danupaya menghadiahi Ki Barak Panji Sakti sekawanan gajah dan 100 orang Parjurit yang merupakan rampasan dari Kerajaan Blambangan. Keseratus prajurit yang beragama islam inilah yang mejadi cikal bakal terbentuknya komunitas Islam di Buleleng (Sastrodiwiryo, 2011: 108-111).
Suatu malam, Raja Buleleng melakukan inspeksi lapangan untuk mengecek kondisi prajurit Islam yang berada di Banjar Jawa pada malam hari. Pada saat kunjungan tersebut, Raja Buleleng merasa kaget melihat salah seorang prajurit Islam yang sedang terlelap tidur. Raja Buleleng melihat sinar atau cahaya yang begitu terang memancar dari dahi salah seorang prajurit. Pada saat itu raja tidak melakukan tindakan apapun. Paska kejadian itu, Raja Buleleng merasa gelisah dan cemas. Raja mengkhawatirkan para prajurit Islam ini memiliki kekuatan supra natural yang tinggi dan berpotensi melakukan penggulingan kekuasaan. Bersama para punggawanya Raja Buleleng terus berfikir dan berdiskusi untuk mengatasi kekhawatiran ini. Mereka akhirnya merencanakan untuk melakukan penyingkiran kelompok prajurit Islam ini. Prajurit Islam ini kemudian ditawarkan untuk membabat hutan di daerah selatan Kerajaan Buleleng. Hutan ini terkenal sangat angker yang disebut sebagai Alas Pegatepan. Beberapa orang sakti sempat dikirim ke tempat ini untuk melakukan pembabatan hutan namun akhirnya meninggal dan tidak kembali lagi. Kekuatan supra natural yang dimiliki oleh prajurit Islam ini diharapkan mampu membuka hutan tersebut sebagai benteng pertahanan kerajaan dari sisi selatan. Raja membebaskan membuka hutan seluas-luasnya untuk digunakan sebagai daerah pemukiman tempat tinggal. Tawaran ini disambut gembira oleh parajurit Islam Jawa ini dan segera melalukan persiapan untuk membabat Alas Pegatepan. Prajurit ini kemudian berhasil membuka hutan dan akhirnya mendiami wilayah Alas Pegatepan ini sebagai tempat tinggal. Di daerah baru ini mereka mengemban tugas sebagai tameng kerajaan Buleleng jika suatu ada serangan dari arah selatan dan sekaligus sebagai pasukan tambahan jika hendak melakukan ekspansi ke kerajaan lain (Jayadi, 2001: 35-36). 
Versi lain mengatakan bahwa sekelompok prajurit hadiah Kerajaan Mataram ini merupakan pasukan perang dari Kerajaan Mataram sebagai hadiah untuk Ki Barak Panji Sakti. Hadiah ini diberikan sebagai bentuk diplomasi Kerajaan Mataram untuk menyepakati gencatan senjata dengan Kerajaan Buleleng. Gencatan senjata ini dilakukan untuk menghindari serangan lebih lanjut dari Kerajaan Buleleng paska gugurnya Ki Gusti Danudresta di tangan pasukan Mataram pada saat ekspedisi pertama Kerajaan Buleleng ke tanah Jawa (
Jayadi, 2001:32-35). Mataram merasa khawatir jika Kerajaan Buleleng melakukan serangan mengingat terjadi konflik internal dimana pasukan perang harus berkonsentrasi terhadap kondisi intern kerajaan. Sesampai di Buleleng, parjurit Islam ini ditempatkan di wilayah yang saat ini disebut Banjar Jawa. Sebagian orang Jawa ini ditugaskan merawat gajah. Kandang gajah ini berbentuk petak-petak sehingga saat ini lokasi kandang ini disebut sebagai Banjar Petak. Di sebelah utara kandang gajah, terdapat tempat yang digunakan oleh kawanan gajah ini untuk bermain dan saat ini lokasi ini disebut sebagai Banjar Peguyangan (guyang berarti berguling di tanah). Di daerah muara Tukad Banyumala di pantai utara merupakan tempat yang digunakan untuk memandikan gajah dan saat ini lokasi ini disebut sebagai Pantai Lingga (Sastrodiwiryo, 2011: 110). Selain bertugas mengurus gajah, orang Jawa ini juga bertugas sebagai pasukan perang yang disiagakan apabila terjadi serangan dari kerajaan lain.
Pada tahun 1850, sebuah kapal dari Kerajaan Bugis-Makassar yang dipimpin oleh Karaeng Galessong terdampar di perairan Buleleng. Ekspedisi kapal ini awalnya bertujuan ke wilayah Jawa dan Madura yang hendak meminta perlindungan akibat konflik internal yang terjadi di Kerajaan Bugis-Makassar. Akibat cuaca buruk dan kurangnya peralatan navigasi yang memadai, mereka akhirnya terdampar di perairan Buleleng. Karena adanya hak tawan karang, keseluran isi kapal dan awak kapal menjadi hak miliki Kerajaan Buleleng (Jayadi, 2001:36). Mengingat kondisinya terdampar, para awak kapal akhirnya menghadap Raja Buleleng untuk memberitahukan kondisi mereka. Atas itikad baik para pelaut beretnis Bugis ini, Raja Buleleng menerima mereka dan memberikan dua pilihan yakni tinggal di daerah pesisir atau bergabung dengan masyarakat Pegayaman. Sebagian memilih menetap di pesisir Buleleng yang sekarang disebut sebagai Kampung Bugis karena memiliki keahlian dalam bidang kemaritiman. Sebagian lainnya bergabung dengan masyarakat Islam Pegayaman karena memiliki kesamaan dalam bidang agama yakni Agama Islam. Bergabungnya kelompok Islam Bugis ini di Kerajaan Buleleng diharapkan mampu memperkuat pasukan kerajaan.
Interaksi yang intens antara kelompok Muslim Jawa dan Bugis di Pegayaman baik setelah berada di Desa Pegayaman maupun di Banjar Jawa menyebabkan sebagian dari mereka melakukan perkawinan amalgamasi. Banyak dari prajurit Islam ini mempersunting gadis Bali bahkan salah seorang diantaranya adalah keturunan dari Ki Barak Panji Sakti. Para gadis Bali ini kemudian mengkonversi agama dan memeluk agama Islam mengikuti suami. Dari perkawinan lintas etnis inilah sampai saat ini masyarakat Pegayaman meyakini bahwa kondisi etnisitas mereka terdiri dari tiga etnis besar yakni Jawa, Bugis dan Bali. Saat ini masyarakat Pegayaman tidak bisa mengindentifikasi etnis mereka karena percampuran ketiga etnis tersebut sudah berlangsung selama ratusan tahun. Mereka meyakini bahwa orang Pegayaman yang bekerja di bidang pemerintahan atau politik memiliki gen atau darah Bugis yang dominan. Sementara orang yang bekerja pada sektor pertanian atau agraris diyakini memiliki darah Jawa dan Bali yang lebih dominan. Dominasi budaya Bali yang ditampilkan oleh masyarakat Islam Pegayaman tidak terlepas dari kelompok perempuan atau ibu-ibu yang berasal dari etnis Bali. Masyarakat Pegayaman meyakini bahwa terjadi kesepakan ketika pemuda Islam mempersunting gadis Bali. Gadis Bali bersedia menikah dan menjadi muallaf asalkan mereka tetap menggunakan atribut-atribut budaya Bali. Selain itu, proses pengasuhan anak-anak Pegayaman lebih banyak dilakukan oleh kaum ibu mengningat para bapak lebih banyak beraktivitas di luar rumah seperti kebun atau sawah. Dalam proses internalisasi inilah budaya Bali ditanamkan pada anak-anak Pegayaman sehingga terbentuklah masyarakat Islam yang mempraktekkan budaya Bali. Percampuran budaya Bali dalam komunitas Islam ini merupakan bentuk strategi adaptif mereka agar mereka tetap diterima oleh masyarakat mayoritas (Budarsa, 2014). Inklusifitas masyarakat islam Pegayaman mengantarkan mereka menjadi bagian dari kelompok Islam Tradisional atau Islam Nusantara yakni masyarakat Islam yang masih mempraktekkan budaya dan tradisi lokal selama tidak bertentangan dengan kaidah – kaidah ajaran Islam.  
 Mengenai asal-usul nama Pegayaman, peneliti menemukan dua versi cerita yang membentuknya. Versi pertama mengatakan bahwa nama Pegayaman berasal dari hutan gatep atau Alas Gatep. Dulu sebelum dibuka menjadi pemukiman, wilayah Desa Pegayaman merupakan hutan yang dipenuhi dengan pohon gatep atau dalam bahasa Jawa disebut gayam. Gatep atau Inocarpus fagifer merupakan jenis tumbuhan suku polong-polongan yang bisa tumbuh sampai 20 meter dengan diameter 4 hingga 6 meter. Pohon ini menghasilkan buah dengan tekstur keras dan bisa dikonsumsi. Untuk mengkonsumsinya diperlukan proses perebusan untuk melunakkan daging buah serta menghilangkan racun saponin yang terkandung di dalamnya (wikipedia.org, diakses pada 5 November 2019). Prajurit yang berasal dari Jawa lebih akrab dengan istilah gayam daripada gatep sehingga mereka menyebut daerah mereka dengan nama Pegayaman. Versi kedua berasal dari salah satu nama keris yang sampai saat ini masih eksis di Jawa. Keris tersebut bernama Keris Gayaman. Menurut penelusuran Wayan Hasyim (alm) salah seorang penglingsir Desa Pegayaman, di Keraton Surakarta terdapat keris Gayaman sebagai salah satu keris koleksi keraton. Keraton Surakarta merupakan salah satu tinggalan dari Kerajaan Mataram Islam dan merupakan asal leluhur orang Pegayaman. Dulu semua prajurit di Kerajaan Mataram memiliki keris Gayaman sebagai senjata untuk pertahanan diri. Wayan Hasyim meyakini semua prajurit yang berasal dari Mataram membawa keris Gayaman ke Bali. Untuk mengingat nama keris serta asal leluhur, mereka kemudian menamai desanya dengan nama Pegayaman. Sampai saat ini pusaka keris Gayaman tidak ditemukan di Desa Pegayaman mengingat jauhnya generasi pertama mereka dengan generasi saat ini. Meskipun demikan, masyarakat Pegayaman meyakini bahwa nama Desa Pegayaman ada kaitannya dengan Pusaka Keris Gayaman yang sampai saat ini tersimpan di Museum Keraton Surakarta.

Referensi
Hasyim, Wayan. 2006. Sejarah Singkat Desa Pegayaman
Panji, I Gusti Ngurah. 2010. Sejarah Buleleng. Singaraja: Pemerintah Kabupaten Buleleng UPTD Gedong Kirtya
Jayadi, Ketut Raji. Tanpa Tahun. Desa Pegayaman: Kota Santri di Pulau Bali
Sastrodiwiryo, Soegianto. 2011. I Gusti Anglurah Panji Saki, Raja Buleleng: 1599-1680. Denpasar: Pustaka Bali Post


Gede Budarsa (081999246508)

Kamis, 24 April 2014

Hadrah: Kesenian Khas Pegayaman

Seni Hadrah merupakan salah satu kesenian khas yang terdapat di Desa Pegayaman. Kesenian ini juga kerap ditemukan di tempat lain seperti di Jawa. Hanya saja ada keunikan tersendiri sehingga seni hadrah di Pegayaman memiliki karakter tersendiri. Seni Hadrah merupakan seni tari yang di dalamnya terdapat unsur gerakan indah, seni suara dan instrumental. Seni ini melambangkan gerakan-gerakan prajurit dalam baris-berbaris. Dalam hal ini Wayan Hasyim menyatakan seni ini mirip dengan seni jangger dalam kebudayaan Bali. Setiap gerakan dalam seni ini merepresentasikan gerakan-gerakan dalam pencak silat. Semua gerakan diambil dari teknik-teknik pencak silat seperti kuda-kuda dengan mengepalkan tangan dan menyilangkannya di depan dada, kemudian gerakan memberikan pukulan dan sebagainya. Semua gerakan ini melambangkan kesiagaan pasukan dalam berperang. Seni semacam ini menjadi wajar berkembang di Desa Pegayaman, mengingat para leluhur mereka merupakan pasukan perang pada masa Kerajaan Buleleng.

            Seni vokal yang mengiringi berupa nyanyian yang diambil dari kitab Al Berzanji yang merupakan salah satu kitab yang cukup berarti bagi masyarakat Pegayaman. Dalam menyanyikan ini, semua pasukan penari juga turut ikut bernyanyi. Lagu yang dibawakan biasanya menggunakan bahasa Arab sesuai dengan isi kitab Al Berzanji. Namun belakangan beberapa sekaa sudah memodifikasinya dengan bahasa Indonesia sehingga lebih mudah untuk dipahami. Lirik berupa bahasa Indonesia ini biasanya bertemakan kebesaran Nabi Muhammad SAW, keberadaan masyarakat Pegayaman, makna perayaan Maulid dan sebagainya. Untuk mengiringi tarian serta nyanyian, digunakan rebana yang sudah berisi lempengan seng untuk menghasilkan suara lebih meriah. Para penabuh rebana ini memiliki dua fungsi yaitu sebagai penabuh dan juga bernyanyi saat kesenian dipentaskan.  Pakaian yang dikenakan juga menyerupai pasukan perang dalam baris berbaris. Idealnya kostum yang digunakan berupa songkok (peci), pakaian lengan panjang, celana panjang, sepatu hitam, selibah atau selempangan. Dalam istilah seni Hadrah songkok yang digunakan disebut polet. Polet adalah peci yang sudah dihiasi dengan pita merah putih di bagian sisi atas. Warna merah putih melambangkan semangat nasionalisme warga Pegayaman. Pakaian lengan panjang biasanya berwarna agak mencolok. Namun ada juga sekaa yang menggunakan pakaian lengan panjang berwarna putih polos seperti sekaa Hadrah Pegayaman (hasil observasi tanggal 14 dan 15 januari 2014). Selibah atau selempangan biasanya berupa kain kecil dengan lebar 5 centimeter dan diselempangkan dari pundak kiri sampai pinggang bagian kanan.

            Dalam pemetasan seni hadrah Pegayaman ada tiga unsur yang bisa dihilangkan yaitu angguk, hadi dan danton. Semua unsur memiliki tugas masing-masing sehinga tercipta karya seni yang apik. Angguk adalah sejumlah pasukan berbaris yang memiliki fungsi sebagai penari. Sementara hadi adalah sekelompok penabuh rebana yang juga memiliki tugas mernyanyi. Kemudian danton adalah pemimpin angguk. Angguk biasanya berjumlah 18 sampai 20 orang yang dipimpin oleh seorang danton. Sementara untuk hadi berjumlah 6 sampai 8 orang. Biasanya pakaian antar ketiga unsur dibedakan. Untuk danton berpakaian lebih meriah dengan tambahan rumbai-rumbai kecil di baju serta aksesoris tambahan di pundak atau sas. Sementara untuk hadi berpakaian batik.
            Pementasan seni hadrah ini dimulai dengan persiapan dari angguk yang dipimpin oleh danton. Semua aba-aba yang diberikan menggunakan bahasa arab. Pertama pasukan angguk akan disiapkan, kemudian memberikan hormat kepada penonton. Setelah usai, baru hadi mulai bernyanyi dan menabuh rebana. Pasukan angguk memulai gerakan tari setelah diberi perintah oleh danton. Biasanya gerakan akan dimulai dengan suara serentak dari angguk dengan suara ‘asik’. Barulah para angguk mulai menari. Gerakan dari tarian angguk sangat dinamis. Biasanya antar angguk dan hadi saling bersahutan dalam bernyanyi. Semakin lama tempo semakin dipercepat. Lama tarian dari 5 sampai 8 menit. Kesenian ini dilakukan oleh kaum pria dari umur belasan hingga 50 tahuan. Seperti sekaa hadrah Pegayaman yang saat ini sudah beranggotakan 30 orang dengan kisaran umur 20 sampai 50 tahun. Kesenian ini biasanya dipentaskan saat perayaan hari Maulid Nabi serta hajatan lain seperti sunatan dan nganten. Fungsi dari kesenian ini adalah sebagai hiburan. Pada saat ada hajatan nganten, biasanya kesenian hadrah akan mengiringi dalam prosesi ngidih ke rumah mempelai perempuan pada barisan paling belakang.
            Saat ini di Desa Pegayaman terdapat empat sekaa yakni Hadrah Pegayaman, Tembara di Banjar Kubu, Kuman Tegeh di Banjar Kubu Lebah, dan Hadrah Amerta Sari. Semua sekaa tidak memiliki sekretariat khusus. Latihan biasanya dilakukan secara bergilir di tempat anggota. Latihan intens akan dilakukan menjelang Maulid Nabi seperti sekaa hadrah Pegayaman yang melatih anggotanya setiap malam senin dan kamis. Cara rekruitmen anggota biasanya dilakukan secara sukarela. Jika ada warga yang hendak ingin menjadi anggota akan dipersilahkan asal ada kemauan. “jika ada yang mau gabung ya silahkan, mari kita belajar sama-sama” kata bendahara sekaa hadrah Pegayaman Nengah Zakaria.
              Dalam setiap kali pementasan yang bersifat pribadi seperti untuk upacara sunatan atau nganten, biasanya sekaa hadrah tidak menargetkan berapa upah yang harus dibayar. Mereka menyerahkan semuanya kepada tuan rumah. Biasanya uang diberikan atau impak akan dijadikan kas sekaa. Sementara dalam perayaan Maulid Nabi, biasanya para pemain hadrah akan mendapatkan berkah dari tuan rumah saat mengarak sokok seperti minuman, makanan dan sebagainya. Untuk kegiatan adat di Masjid juga mendapatkan berkah berupa bingkisan makanan dari panitia pelaksana. Selain itu pembagian sokok akan diutamakan bagi sekaa hadrah mengingat partisipasinya dalam perayaan Maulid. Partisipasi Hadrah dalam perayaan Maulid Nabi sangat besar meskipun tidak mendapat imbalan berupa uang. Semua dilakukan secara sukarela untuk meneruskan tradisi leluhur. Seperti diakui oleh Nengah Zakaria, dirinya mengikuti kesenian ini karena ingin melestarikan budaya leluhur. Meski baru bergabung beberapa bulan, ia sama sekali tidak mengharapkan imbalan apapun. “ini murni untuk mempertahankan budaya leluhur kami, jangan sampai anak cucu kami tidak bisa menyaksikan kesenian ini” tambahnya.

Sabtu, 01 Februari 2014

Bordah: Kesenian Kolaborasi Budaya Islam dan Bali dari Pegayaman


Siang itu di tengah kerasnya terik matahari membakar kulit, suara adzan dari arah masjid jamik Singaraja terdengar begitu riuh ditengah kemacetan jalan Imam Bonjol Singaraja. Maklum saja, saat itu umat muslim sedang menjalankan kewajibannya untuk melakukan sholat jumat. Para jemaahpun mulai berdatangan dari segala penjuru yang semakin menambah kemacetan. Badan jalan sebagian dipergunakan umat untuk memarkirkan kendaraan yang digunakan. Dengan menggunakan pakaian sholat, serta sajadah yang digantungkan di pundak, umat mulai memasuki halaman masjid. Suasana berbeda mulai pecah ketika rombongan yang berpakaian layaknya orang Bali masuk ke dalam masjid. Dengan menggunakan seragam baju hijau muda, kain atau lancingan serta udeng layaknya orang Bali yang hendak bersembahyang ke pura mereka memasuki kawasan masjid untuk ikut serta dalam kegiatan sholat jumata. Terlihat agak ganjil memang jika tidak terbiasa beribadah di masjid ini. Jemaah yang lainpun seolah cuek tidak memperdulikan mereka. Mungkin karena sudah mengetahui dan terbiasa atau sikap apatis umat yang berlebihan sehingga tidak ada respon sedikitpun. Rombongan yang terdiri dari 10 orang dewasa ini kemudian mengikuti jalannya sholat jumat dengan khusuk. Seusainya, saya menghampiri mereka. Mereka ternyata adalah sekaa Bordah asal Pegayaman yang akan pentas di sebuah acara pernikahan di kampung Bugis Singaraja. Dengan mengendarai pick up terbuka, merekapun melanjutkan perjalanan menuju lokasi hajatan. Tak mau ketinggalan momen ini, sayapun memutuskan untuk mengikuti mereka. Tentunya sudah mendapat izin dari mereka.

Bordah merupakan salah satu kesenian yang berasal dan berkembang di Desa Pegayaman. Kesenian ini sudah ada sejak 1886 silam. Seni ini merupakan seni vokal yang diiringi dengan alat musik yang disebut borde. Seni yang bernuansa Islami ini dipadupadankan dengan budaya Hindu-Bali. Kesenian ini diduga satu-satunya kesenian yang hanya ada di Desa Pegayaman.
Pegayaman merupakan salah satu desa yang terletak di pedalaman yang merupakan bagian dari wilayah administratif Kecamatan Sukasada, Buleleng. Desa ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan desa lainnya di Buleleng. Hampir 90% warga Pegayaman menganut agama Islam. Mereka sudah menempati kawasan perbukitan ini sejak akhir abad XVI silam. Meskipun minoritas, mereka begitu taat dalam menjalankan ajaran Islam.

Saking lamanya tinggal di kawasan yang mayoritas beragama Hindu-Bali, lambat laun mereka menyerap dan mengolaborasikan budaya Bali dalam kehidupan kesehariannya. Hal yang paling nyata dapat kita lihat dalam kesenian Bordah. Kesenian ini berlafaskan Islam namun dikemas dengan Budaya Bali. Dari kostum yang digunakan, hampir tidak berbeda dengan masyarakat Hindu yang hendak bersembahyang ke Pura. Lantunan syair yang dikumandangkan beserta alat musiknya sangat kental dengan ajaran Islami. Syair yang dinyanyikan dipetik dari kitab Al-Berjanzi. Kitab ini menceritakan perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dalam Islam. Sementara alat musik yang mengiringi menyerupai rebana dengan ukuran yang super besar. Beratnya saja bisa mencapai 10 kilogram.

Wayan Hasyim, budayawan sekaligus pelaku seni Bordah menuturkan kesenian ini dibawa oleh leluhur mereka yang berasal dari tanah Bugis, Sulawesi. Salah satu Penglingsir di Pegayaman ini juga sempat menelusuri asal muasal dari alat musik ini dan mengatakan “Pada awalnya, Burde ini merupakan genderang yang digunakan oleh orang tiongkok dalam peperangan. Selanjutnya alat musik ini sampai ke kerajaan Bone di Makassar. Dari sinilah asal muasal kesenian Bordah, mengingat nenek moyang kami juga berasal dari Bugis”. Sesampainya di Bali, kesenian ini mendapat sentuhan budaya Bali mengingat leluhur mereka terutama kaum ibu berasal dari suku Bali. “Kemungkinan saat itu ketika mau pentas, mereka bingung mau menggunakan kostum apa. Jadilah mereka menggunakan pakaian adat Bali yang diberikan oleh Ibu-ibu” tambahnya sembari tertawa ringan.
Selain pakaian, lantunan syair kitab Al-berzanji juga mirip dengan kidung atau nyanyian suci orang Bali saat menggelar upacara yadnya. Tidak terlihat sama sekali lafal lidah arab dalam mengumandangkannya. Hal ini berbeda jauh dengan budaya Islam lainnya yang ‘Arabsentris’ ketika membaca ayat-ayat suci. Dalam permainannya juga mirip dengan budaya Bali yaitu makekawain (kidung yang menduduki posisi paling tinggi atau sekar agung). Secara bergantian mereka membawakan satu persatu bait yang terdapat dalam kitab tersebut. Selain sebagai hiburan, kesenian ini juga kerap diguanakan untuk proses penyembuhan. “Jika ada warga yang sakit keras, biasanya mereka mengundang kami untuk melantunkan ayat-ayat yang ada di kitab Al-berjanzi. Kami kemudian bernyanyi di depan orang sakit tersebut. Biasanya jika Allah menghendaki dia sembuh, dia akan segera sembuh setelah tiga hari. Begitu pula sebaliknya, jika dia sudah ditakdirkan meninggal, maka setelah tiga hari dia akan meninggal dunia” tutur Makmun ketua sekaa Bordah Kubu Lebah.

Borde terbuat dari pangkal pohon kelapa sacara utuh. Dengan diameter mencapai 55 centimeter dan tinggi 10 centimeter, bagian dalam kayu kelapa tersebut dibersihkan. Bagian atas dan bawah juga dilubangi sehingga yang tersisa bagian kulit saja. Bagian atas kemudian dipasangkan kulit sapi atau kerbau yang sudah menjalani prosesi pengolahan sebelumnya. Untuk mengeratkannya digunakan penyali (kayu rotan) sehingga kulit bisa menghasilkan suara. Sekaa Bordah di  Pegayaman biasanya membuat sendiri alat musik tersebut. Saat ini terdapat 4 sekaa Bordah yang bertahan di desa Pegayaman.

Kesenian Bordah biasanya ditampilkan ketika ada hajatan seperti pernikahan, sunatan dan maulidan di desa Pegayaman. Fungsinya hanya sebagai penyemarak kegiatan. Seperti yang dilakukan oleh Sekaa Bordah Kubu Lebah saat diundang dalam pesta pernikahan di Kampung Bugis Singaraja pada 18 Oktober 2013 silam. Namun saat Maulid, kesenian ini wajib ditampilkan semalaman penuh hingga matahari tanggal 13 rabiul awal muncul.

Meski sering berpartisipasi dalam kegiatan pemerintah seperti mewakili kabupaten dalam kegiatan Pesta Kesenian Bali, tampil dalam pameran Pembangunan yang kerap digelar saat 17 agustus, namun pemerintah seolah tutup mata dengan kesenian ini. “Sampai saat ini kami belum pernah mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah, padahal kami sering pentas dalam kegiatan pemerintahan. Kami tetap bertahan karena tidak mau meninggalkan warisan leluhur kami” keluh Mukmin (65). Selain itu partisipasi kaum muda juga sangat minim. Kebanyakan warga yang tergabung dalam sekaa Bordah adalah kaum tua. Jika keadaan ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan beberapa dekade lagi, seni yang mengkampanyekan semangat pluralisme tinggal cerita. Jika tidak ingin seperti itu, pemerintah harus ikut andil dong!  

Sabtu, 30 November 2013

Makna 'Siri' bagi Masyarakat Bugis Makassar

Cerita ini dimulai ketika pertama kali saya sampai di tanah Daeng, Makassar. Sesaat setelah sampai saya dijemput sahabat, teman, kawan dan kerabat dari Universitas Hassanudin. Mengetahui saya berasal dari Bali yang terkenal dengan arak Balinya, sayapun disuguhkan minuman penghangat khas dari tanah Sulawesi Selatan, Ballo. Warnanya putih layaknya tuak yang sering saya tenggak ketika berada di kampung halaman. Sebotol air mineral berukuran besar yang terisi dengan ballo sudah berada dihadapan kami. Mengingat saya bukan orang lokal disana, saya mencoba mengikuti aturan di daerah tersebut mengenai prosesi minumnya. Saya akui teman saya bukanlah peminum, namun karena menghormati saya sebagai tamu, merekapun ikut nimbrung dan sesekali menenggak arak khas Makassar itu. Karena sudah terbiasa, saya sering sekali meminum satu gelas penuh ballo yang sudah dituangkan dalam gelas. Maklum, ini tradisi saya ketika ‘berlayar’ di Bali. ketika gelas yang sudah terisi ballo mampir ke salah seorang teman saya, dia hanya menenggaknya sebagian. Saya bisa memahami karena memang ini bukan tradisinya. Secara spontan, teman saya yang lain nyeletuk dengan bilang “ ini siri lo jika tidak dihabiskan” dengan logat khas makassarnya. Dia sih bukan orang Makassar tapi orang Barru. Di forum inilah saya mendengar pertama kali kata ‘siri’. Dalam otak saya mungkin kata siri itu artinya memalukan karena tidak bisa menghabiskan ballo segelas, dan pamali kalo di buang karena dalam tradisi saya, ketika gelas sudah ditenggak, sisanya akan dibuang. Ternyata konsep siri bagi mereka tidak sedangkal itu.
Siri dalam masyarakat Bugis-Makassar merupakan kehormatan yang harus dijaga bahkan sampai darah penghabisan (Menurut teman saya). B.F. Matthes memberikan pengertian siri sebagai rasa malu, ketika kehormatannya merasa dilecehkan dan tersinggung dan sebagainya. C. H. Salam Basjah memberikan pengertian siri dalam tiga hal yang meliputi malu, motivasi untuk membinasakan siapa saja yang mempermalukan keluarga, dan daya dorong untuk bekerja dan berusaha sebanyak mungkin (Mattulada, Dalam Koenjtaraningrat 2007). Dalam film ‘ Badik Titipan Ayah’ karya  Dedi Mizwar juga menenpatkan  konsep Siri sebagai sesuatu yang sangat menodai keluarga Bugis. Bahkan jalur kekerasan dtempuh ole keluarga Karaeng untuk menebus apa yang telah dilakukan anaknya beserta pacarnya yang telah melakukan ‘Palariang’ yaitu kawin lari tanpa sepengetahuan dan restu dari kedua orang tua.
Bagi orang Bugis, Siri merupakan sesuatu yang sangat memalukan. Mereka akan melakukan apa saja untuk membalas seseorang yang telah melecehkan dan menginjak-nginjak kehormatan mereka. Tidak terkecuali kekerasan. Teman saya pernah bercerita di sebuah desa pernah terjadi pembunuhan karena alasan siri. Secara hukum dan hak asasi manusia hal tersebut sudah tentu tidak dibenarkan. Namun bagi keluarga dan masyarakat Bugis hal itu wajar-wajar saja. Bahkan warga sekampung mendemo aparat kepolisian karena menahan orang yang membunuh tersebut. Mereka berpendapat bahwa apa yang dilakukan si pelaku sudah tepat karena itu sudah adat.
Bercermin dari cerita teman saya tersebut, saya yakin warga Bugis tidak menginginkan pertumpahan darah terjadi hanya karena dianggap siri. Saya yakin orang Bugis cinta damai dan tidak suka kekerasan. Namun hal tersebut juga tidak bisa disalahkan begitu saja, karena ini memang tradisi dimana masyarakat Bugis sangat menjunjung tinggi norma dan adat yang diwariskan. Hanya saja ketika jalur kekerasan dipilih, ini sudah tidak wajar lagi. Sekali lagi jika ini dikaitkan dengan hukum normatif dan hak asasi manusia, maka pembunuhan tetap saja bukan jalan keluar.
Siri dalam masyarakat Bugis memiliki filsafat yang luar biasa jika masyarakat Bugis bisa memahaminya. Saya yakin nenek moyang orang Bugis menciptakan konsep Siri sebagai sebuah falsafah hidup untuk menjaga keharmonisan masyarakat. Dalam istilah kerennya disebut kontrol sosial. Setiap orang pasti memiliki rasa malu. Ini alamiah. Ketika rasa malu itu datang setiap orang akan berusaha untuk mereflesikan diri kenapa hal tersebut bisa terjadi. Setelah itu dia akan berusaha untuk mempelajari kesalahan dalam dirinya yang menyebabkan dia malu. Orang tersebut pasti akan berusa belajar dari pengalaman sehingga rasa malu tidak muncul dikemudian hari. Contoh kecilnya adalah ketika seorang anak SD berpakaian pramuka ketika upacara bendera hari senin. Dari kesalahannya itu setidaknya dia belajar bahwa pada saat hari senin harus berpakaian seragam merah putih. Begitu pula teman-temannya pastilah akan mengingatkan kesalahan yang telah diperbuat anak tersebut.
Bercermin dari contoh kecil itu setidaknya orang Bugis bisa memaknai kata siri itu sebagai media pembelajaran. Kata siri seharusnya tidak dimaknai seekstrem itu sehingga terjadi kekerasan. Semua orang memiliki rasa malu, tetapi bukan berarti malu itu dijadikan kambing hitam sehingga muncul dendam, benci dan sebagainya. Saya meyakini leluhur orang Bugis mengkonstruksikan siri itu sebagai kontrol sosial agar kita tidak melakukan kesalahan di kemudian hari. Seseorang wajib menjaga kehormatan diri, keluarga, bangsa dan Negara. Begitu pula orang Bugis diharamkan menginjak kehormatan orang lain. Ajaran ini begitu adi luhung juka dipahami secara bijak. Setidaknya ketika siri itu muncul, kita harus berfikir kenapa itu bisa muncul. Tidak mentang-mentang menyalahkan orang yang telah melakukan siri tersebut. Dengan menelusuri latar belakang siri tersebut, tidak menutup kemungkinan kesalahan ada pada diri kita. Dengan mengetahui hal tersebut kita bisa belajar untuk tidak melakukan hal tersebut.
Kembali ke cerita dalam film ‘Badik Titipan Ayah’. Andai saja Daeng Karaeng bisa mengetahui kesalannya sehingga anaknya melakukan palariang, mungkin hidupnya bisa lebih panjang dan bisa melihat cucu pertamanya tumbuh dan berkembang. Bukan malah berfikir kalau itu adalah siri dan orang yang melarikan anaknya harus mati dengan badik warisan keluarga tersebut. Pada akhirnya yang meninggal adalah dia sendiri. Andai saja Daeng Karaeng bisa memahami bagaimana perasaan anaknya dan sedikit menyingkirkan egonya, niscaya hal tersebut tidak terjadi. Padahal, akar pemasalahanya adalah kisah klasik bak Romeo dan Juliet, dimana keluarga Daeng Karaeng pernah memiliki masalah dengan keluarga besar calon menantunya itu sehingga ia tidak menyetujui perkawinan tersebut.
Siri jika dipahami sebagai falsafah hidup merupakan ajaran yang luar biasa. Siapa sih yang ingin dipermalukan?  Hanya saja bagaimana kita menanggapi rasa malu itu secara bijak. Bukan malah menimbulkan dendam benci dan sebagainya. Bukankah hidup damai itu indah? Bukan begitu Ji? Ia toh?

Minggu, 16 Juni 2013

Lebaran “Nyama Selam” Di Pegayaman

Nyama Selam, mungkin masih asing di telinga kita. Dua kata tersebut merupakan sebutan bagi mereka umat muslim yang sudah mengintroduksikan budaya Bali dalam kehidupannya. Dalam bahasa Bali, nyama  berarti saudara dan  Selam  berarti Islam. Jadi mereka adalah sudara kita (Orang Bali) yang beragama Islam. Nyama selam saat ini sudah diakui sebagai salah satu etnis yang mendiami pulau seribu Pura ini (sumber: BPSNT BALI, NTB, NTT). Sementara mereka menyebut kita ( Orang Bali yang Beragam Hindu) sebagai  Nyama Bali. Dari penggunaan istilah tersebut jelas bahwa sesungguhnya kita adalah saudara yang mungkin dalam beberapa hal memiliki perbedaan. Yang membedakan jelas adalah Agama.  Kenapa ini bisa terjadi? Sejarahlah jawabannya.
Salah satu Nyama Selam yang ada di Buleleng adalah Masyarakat desa Pegayaman. Desa ini terletak di dataran tinggi dengan ketinggian antara 450 sampai 1.200 meter di atas permukaan laut. Jarak sekitar 65 Km dari Kota Denpasar atau sekitar 9 Km dari kota Singaraja. Jalan menuju desa ini berada di jalan raya Singaraja- Denpasar sehingga kita akan mudah menemukannya. Plang menunjuk jalan dan infranstuktur jalan yang memadai akan memudahkan kita sampai di Desa yang terkenal akan hasil perkebunan cengkehnya. Desa ini terbagi menjadi 5 dusun atau Banjar yaitu Banjar Dauh Margi, Dangin Margi, Kubu, Kubu Lebah dan Amerta Sari.
            Orang Pegayaman tak ada bedanya dengan orang Bali pada umumnya. Bentuk fisik yang sama, bahasa yang sama menjadikan kita susah membedakan mereka dengan orang Bali. Bedanya adalah mereka menggunakan jilbab atau peci jika keluar desa untuk suatu keperluan. Sejarah mencatat bahwa mereka merupakan campuran dari 3 etnis yang berbeda yaitu Bali, Jawa dan Bugis. Kisah mereka berawal dari masa pemerintahan KI Barak Panji Sakti di kerajaan Buleleng pada abad ke 16. Pada saat itu, dengan pasukan Goaknya, Ki Barak Panji Sakti berhasil Mengepung Kerajaan Blambangan di Jawa Timur. Kabar kemenangan tersebut tersebar luas hingga sampai ke kerajaan Mataram yang saat itu di perintah oleh Dalem Solo. Untuk menghindari peperangan lebih lanjut, mereka akhirnya sepakat untuk melakukan genjatan senjata. Selanjutnya, Dalem Solo menghadiahi seekor Gajah beserta 8 patih dari kerajaan Mataram yang saat itu sudah beragama Islam untuk mengiringi Ki Barak Panji Sakti bertolak ke Bali.
 Sesampainya di Bali, para Patih tersebut ditempatkan di sebuah tempat yang saat ini disebut Banjar Jawa. Mereka memiliki tugas untuk membantu kerajaan Buleleng dalam menghadapi kerajaan – kerajaan lain yang hendak menyerang. Benar saja, ketika kerajaan Mengwi Tabanan menyerang, merekalah yang memimpin pasuka dibantu dengan pasukan Teruna Goak. Pasukan Mengwi akhirnya berhasil digempur Mundur hingga ke Desa Benyah atau saat ini menjadi Desa Pancasari hingga ke Desa Taman Tanda, Baturiti. Berkat jasanya tersebut, para Patih dihadiahi tanah di perbatasan Buleleng- Tabanan dan dipersilahkan membuka lahan seluas – luasnya. Tempat tersebut dulunya terkenal sangat angker. Dengan keberanian dan kemampuan para patih ini, mereka berhasil membangun sebuah desa di lereng bukit itu. Selain itu berkat jasa – jasanya dalam membantu Kerajaan Buleleng seorang Gadis keturunan Raja Buleleng dihadiahkan kepada salah seorang Patih. Di sinilah mulai terjadi percampuran Budaya antara jawa (Islam) dan Bali (Hindu).
Beberapa lama kemudian, sekita tahun 1850an, Kapal ekspedisi Raja Hasanudin dari Sulawesi yang hendak menuju Jawa dan Madura terdampar di perairan Buleleng. Sebanyak 40 pasukan Bugis tersebut menghadap secara baik – baik ke Raja Ki Barak Panji Sakti. Mereka kemudian disambut hangat oleh raja dan diberikan kebebasan untuk memilih tinggal di pesisir atau di desa pegayaman mengingat mereka beragama Islam. Sebagian memilih di pesisir karena orang Bugis terkenal sebagai penjelajah laut dan sebagian lagi memilih bergabung dengan orang Pegayaman karena alasan Agama. Itulah asal mula mereka berasal dari 3 suku yaitu Jawa, Bali dan Bugis.
Karakter ketiga etnis sampai saat ini masih ditemukan pada diri orang Pegayaman. Jawa dengan lembut, sopan, dan bertaninya, kemudian Bali dengan adat dan rangkaian upacaranya serta Bugis dengan karakter kerasnya. Jika kita bertemu dengan Orang Pegayaman tata krama dan sopan santunya akan muncul seketika saat kita mulai berbincang. Sementara dalam beberapa kegiatan keagamaan maupun sosialnya, kita masih jumpai adat Bali – Hindunya dan sewaktu – waktu apabila dalam keadaan terdesak, watak Bugisnya muncul. Mereka tidak segan – segan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan masalah.
Sementara mengenai asul – usul nama desa, setidaknya ada dua versi yang bisa kita gunakan sebagai referensi. Versi pertama adalah berasal kata Gayam (bahasa Jawa) yaitu sejenis tumbuhan yang buahnya bisa kita konsumsi. Dalam bahasa Bali disebut buah gatep. Konon sebelum dibuka menjadi pemukiman, tempat tersebut banyak ditemukan pohon Gatep atau Gayam sehingga disebut desa Pegayaman. Untuk versi kedua berasal dari Keraton Surakarta, Solo. Di Keraton Solo terdapat sebuah keris yang bernama Gayam. Hal ini menandakan bahwa orang Pegayaman merupakan kerabat dari Keraton Solo. Hal ini pun sudah diakui pihak Keraton Solo melalui ekspedisi sejarah Pegayaman pada tahun 2007. Ekspedisi tersebut difasilitasi oleh Puri Buleleng. 
Percampuran budaya Islam – Bali sudah terjadi semenjak pertama kali berdirinya desa ini sekitar abad ke 16. Percampuran oleh beberapa pihak diklaim berawal dari perkawinan campuaran antara orang Pegayaman dan  orang Bali. Percampuran ini sampai saat ini masih terlihat. Misalnya saja dalam bahasa, sampai saat ini mereka menggunakan bahasa Bali dan mengenal Sor singgih Basa Bali. Dalam penamaan, layaknya orang Bali mereka juga melekatkan Wayan untuk anak pertama, Nengah untuk anak kedua, Nyoman untuk anak ketiga dan Ketut untuk anak keempat . Hanya saja tidak ada Wayan, Nengah atau Nyoman tagel  atau yang kedua. Nama mereka hanya berakhir pada Ketut. Untuk anak ke lima, dan seterusnya tetap menggunakan nama Ketut. Selain itu, dalam beberapa hari besar Islam, mereka juga menggunakan rangkaian kegiatan layaknya orang bali. Pada hari Maulid Nabi misalnya atau mereka menyebutnya dengan muludan, rangkaian perayaannya hampir mirip dengan upacara Piodalan pada masyarakat Hindu. Rangkaiangnya bisa sampai sebulan penuh dengan puncak acara mengarak sokok base seperti gebogan lengkap dengan daun, buah dan bunganya. Arak – arakan dilakukan sepanjang desa. Selain itu pada perayaan Lebaran, kita juga jumpai budaya Balinya yang sepertinya sudah mengakar. Rangkaian ini dimulai dari Penapean, Penyajaan, Penampahan Lebaran dan Umanis Lebaran.
Penapean
Dalam Budaya Hindu Bali, tape merupakan salah satu sajian wajib pada hari – hari besar tertentu seperti Galungan dan  Kuningan. Begitu pula di Desa ini. Tape sudah menjadi sajian wajib saat Idul Fitri. Penapean ini biasanya dilakukan 3 hari sebelum Lebaran karena tape membutuhkan waktu sampai 3 hari untuk fermentasi. Tape yang mereka buat juga sama seperti yang disajikan orang Bali saat galungan yaitu Tape beras atau Tape ketan Hitam. Kegiatan Penapean biasanya dilakukan oleh ibu – ibu di rumah masing –masing. Saking pentingnya tape saat perayaan lebaran, beredar mitos bahwa apabila seorang istri tidak bisa membuat tape akan mengakibatkan ketidakharmonisan dalam berumah tangga. Bahkan hingga sampai pada perceraian. Inilah sebabnya apabila pemuda ingin mencari Istri harus yang mampu membuat Tape sendiri. Namun mitos tersebut telah tenggelam dimakan kemajuan Zaman.
Penyajaan
Penyajaan dalam bahasa Indonesia berarti membuat jajan. Masyarakat Pegayaman sudah mempersiapkan segala macam jajanan yang akan disajikan saat Lebaran dua hari sebelumnya. Jajanan tersebut akan disajikan saat ada kunjungan dari sanak saudara, kerabat, tetangga dan sebagainya untuk bersilahturahmi atau dalam istilah mereka berziarah saat Lebaran. Jajanan tersebut akan disajikan di meja tamu atau di ruang tamu selama Lebaran berlangsung. Yang unik dari sederetan jajana tersebut adalah jaja Uli ketan dan dodol yang merupakan ciri khas Bali. Dua jajan ini juga merupakan jajanan yang wajib ada saat Lebaran. Biasanya kedua jajan tersebut disajikan dengan tape sebagai pelengkapnya. Selain itu juga disajikan jajanan seperti kripik, roti, jajanan kering modern lainnya. Pada jaman dulu, biasanya mereka membuat sendiri aneka jajanan tersebut. Namun di era modern ini biasanya mereka tidak sempat membuat dan mamilih untuk membelinya. Namun untuk jaja uli ketan dan dodol biasanya harus di buat sendiri. 
Penampahan
            Sehari menjelang Lebaran disebut dengan Penampahan. Dalam bahasa indonesia tampah berarti memotong daging. Layaknya orang Bali, mereka mempersiapkan daging untuk sajian saat Lebaran dilakukan sehari sebelum hari raya tersebut. Biasanya daging yang mereka gunakan adalah ayam, sapi, atau kambing sesuai dengan ajaran Islam. Untuk ayam biasanya mereka memotong sendiri di rumah masing – masing. Sementara daging kambing atau sapi mereka lakukan secara kolektif. Dengan patungan mereka membeli sapi atau kambing dan memotongnya kemudian di bagi rata sesuai dengan kesepakatan. Sesuai dengan ajaran Islam, mereka dilarang keras untuk membeli daging diluar orang muslim. Hal ini disebakan karena dalam ajaran mereka ada doa – doa tertentu yang harus dipanjatkan sebelum hewan dipotong agar mendapat restu dari Tuhan. Selain itu juga untuk meminta maaf ke hewan yang hendak dipotong sehingga daging yang dikonsumsi bisa dikatakan Halal.
Kemeriahan warga Pegayaman menyambut hari kemenangan
            Yang unik lagi pada hari ini terlihat ketika surya mulai merapat ke kiblat. Ibu – ibu dan remaja putri mulai nampak dengan menyuun nampan besar yang ditutup dengan penutup makanan. Penutup tersebut mereka sebut dengan saab, perlengkapan orang bali saat bersembahyang. Prosesi tersebut disebut dengan ngejot. Ngejot merupakan sebuah aktivitas dimana seorang warga memberikan jajanan atau makanan kepada sanak famili, kerabat, tetangga, orang yang dihormati dan sebagainya saat hari – hari tertentu. Dalam prosesi tersebut, warga Pegayaman biasanya menyuguhkan aneka jajanan seperti dodol, jaja uli dan tape dan makanan seperti nasi lengkap dengan lauknya dan Sayur. Saat sampai di tujuan, mereka langsung menyerahkan sajian tersebut kepada warga yang dituju. Ketika hendak pulang, tuan rumah juga biasanya membalas dengan memberikan jajanan dan makanan yang sama yang ada rumah untuk diberikan kembali kepada yang orang ngejot tadi. Sebuah transaksi yang unik. Biasanya sajian tersebut digunakan untuk berbuka puasa di akhir – akhir puasa. Sebuah tradisi yang penuh dengan makna dan filosofi. Hal tersebut tak ubahnya dengan tradisi ngejot  yang dilakukan orang Bali saat hari besar umat Hindu.
            Pada malam harinya, seperti layaknya warga muslim ditempat lain, mereka juga melakukan prosesi malam Takbiran. Gema Takbir terus berkumandang sebagai lambang kemenangan kaum Muslim karena sudah mampu melewatkan puasa selama sebulan penuh. Alunan takbir yang mengumandangkan “Allah Wu Akbar” seolah sebagai lonceng pemanggil warga untuk segera berkumpul di Masjid. Setelah semua warga berkumpul, Imam Masjid memberikan arahan teknis Takbiran kepada warga. Para tetua Desa, Imam, Ustad, Ulama dan parat desa berada di barisan paling depan. Disusul dengan anak – anak serta orang tua dan para pemuda dan pemudi. Letusan kembang api dan mercon seolah menambah semaraknya malam kemenangan tersebut. Ketika bersiap berjalan, para pemuda dan anak – anak yang sudah menyiapkan obor sebelumnya langsung meyalakannya. Gema takbir terus berkumandang dari pengeras suara masjid ditambah lagi dari warga sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Sepanjang perjalanan megitari desa, kumandang tersebut tak juga reda seakan mereka dengan tulus mengagungkan nama Tuhan. Mercon dan kembang apipun terus mengiringi  perjalan suci tersebut. Yang nampak saat itu adalah kobaran api yang berasal dari obor serta mercon dan kembang api serta gema “Allah Wu Akbar”. Seketika desa tersebut yang biasanya sepi, senyap berubah menjadi semarak. Di tengah perjalanan, terlihat api besar membumbung tinggi ke angkasa. Seketika pula warga yang turut dalam rombongan terenyang. Ternyata api tersebut berasal dari salah seorang pemuda yang meyemprotkan minyak atau cairan yang mudah terbakar ke arah obor. Seketika pula api besar membumbung dari obor tersebut. Seperti itulah warga Pegayaman merayakan kemenangan di hari yang suci tersebut.
            Sesampai di Masjid, gema tersebut tak kunjung usai. Alunan mercon dan indahnya kembang api juga tak surut. Sebuah wujud kegembiraan warga menyambut hari nan fitra. Warga satu – persatu meninggalkan masjid dan kembali ke rumah masing – masing. Dari pengeras suara masjid terus berkumandang Gema takbir hingga subuh. Bahkan anak – anakpun ikut berpartisipasi dalam aktivitas tersebut. Terdengar dari suara yang agak serat dan agak malu – malu dari arah pengeras suara masjid. Seperti itulah warga pegayaman menyemarakkan malam takbiran sebagai wujud syukur di hari kemenangan.
Lebaran
Pagi subuh di hari Idul fitri 1 Syawal 1433, masih terdengar sura takbir Tuhan. Seolah suara mereka tak habis –habisnya semalam suntuk mengumandangkan “ Allah Wu Akbar”. Suasana mulai kembali riuk ketika mentari menampakkan diri. Seluruh warga bersiap merayakan kemenangan dengan sholat atau menurut istilah orang pegayaman Sembahyang Id dan berziarah. Seperti pada lebaran – lebaran sebelumnya, mereka melakukan Sembahyang Id pada pukul 10:00 Wita. Yang wajib melakukan sembahyang Id di masjid adalah kaum Pria sementara para wanita melakukannya secara berjamaah di rumah atau di mushola terdekat. Untuk sembahyang Id di luar masjid bisa dilakukan sebelum atau seusai sembahyang Id di Masjid.
Mendekati pukul 10:00, Imam masjid kembali mengingatkan warga melalui pengeras suara agar segera merapat ke masjid. Tentu saja dengan menggunakan Bahasa Bali Alus. Setelah warga terkumpul sebagian mulai masuk ke areal masjid dan sebagian lagi masih duduk sambil merokok di areal parkir. Biasanya mereka yang segera masuk masjid adalah para orang tua untuk mempersiapkan tempat dan menggelar sajadah tempat bersimpuh memuja Tuhan. Sementara yang menunggu di parkiran adalah pemuda. Ada yang unik ketika mereka sedang asyik menunggu. Seorang pemuda terlihat melepaskan gelang karet yang ada di tanggannya secara paksa. Sepertinya gelang yang berwarna hitam dan putih dan berjumlah lebih dari 6 tersebut sudah lama melekat di lengannya. Dengan sekuat tenaga gelang tersebut berhasil diputus dan lepas. Mungkin saja pemuda tersebut ingin berpenampilan sempurna ketika berada di Rumah Tuhan untuk bersujud memuja kebesaranNya. Dari dalam masjid terdengar kembali gema yang mengagungkan nama Tuhan dari para Imam masjid yang diikuti oleh Jemaah. Secara bergantian kebesaran Tuhan terus dikumandangkan hingga doa sembahyang Id mulai terdengar. Para pemuda yang awalnya masih bersantai, bergegas masuk ke areal masjid untuk mengikuti sembahyang Id. Dari arah berbeda datang pula para jemaah yang tergesa – gesa masuk ke masjid. Susana seketika hening ketika doa – doa sembahyang Id mulai dikumandangkan.
Sekitar 15 menit kemudian, sembahyang Id berakhir yang selanjutnya adalah penyampaian Khotbah dari ulama masjid. Awalnya para jamaah sudah diingatkan agar terus berada di masjid sebelum acara usai. Namun nampaknya sebagian pemuda tidak tertarik untuk mendengarkan khotbah dan langsung meninggalkan masjid. Sementara yang masih bertahan di sana adalah para Orang tua dan sebagian pemuda. Isi khotbah tersebut adalah esensi dari puasa selama sebulan serta makna hari kemenangan. Tak lupa Ulama menyelipkan pesan – pesan yang ada dalam ajaran Islam kepada jamaah.
Khotbahpun usai, suasana dari dalam masjid kembali riuh. Semua jemaah secara bergantian bersalaman dengan para ulama dan Imam masjid tak lupa mengucapkan mohon maaf lahir batin. Setelah silahturahmi dengan Ulama usai, mereka mulai meninggalkan masjid dan pulang ke rumah masing – masing.
Di tempat yang berbeda, warga nampak ramai berjalan menuju kuburan atau pemakamam umum di Pegayaman. Dengan berbondong – bondong bersama keluarga, mereka mulai mendekati makam kelurga yang telah mendahului menghadap Tuhan. Doa – doa diucapkan untuk mendoakan agar mendapat tempat yang layak di sisi Beliau. Tangisan serta air mata pun turut menambah khusuknya berziarah. Setelah usai doa, mereka kemudian menabur bunga dan air sebagai tanda keiklasan keluarga yang ditinggalkan. Mereka kemudian berpamitan dan jalan menuju pulang.
Di tengah perjalana, berjabat tangan dengan warga lain seolah mejadi kewajiban. Ketika bertemu dengan orang yang dikenal mereka langsung mengucapkan “ Selamat Hari Raya Idul Fitri, Minal Aidzin Wal Faidzin” sambil berjabat tangan. Dari arah berbeda terdengar pula “Lahir Batin, Mbok”, seolah kata tersebut sudah mewakili permohonan maaf akan kesalahan – kesalahn yang telah diperbuat. Hampir semua warga tumpah ruah di jalanan. Pihak kepolisian turut bersiaga untuk mengawal jalannya hari raya. Seperti itulah pemandangan yang terlihat di desa nan unik tersebut hingga matahari menyongsong ke barat.
Di rumah – rumah warga, keluarga, kerabat, tetangga mulai berdatangan untuk bersilaturahmi sambil berbincang – bincang. Aneka jajanan yang telah disiapkan sebelumnya disajikan di atas meja tamu. Tak lupa jaja uli ketan, dodol dan tape yang merupakan ciri khas Lebaran turut disuguhkan. Seperti itulah aktivitas mereka sampai kegelapan mulai menyusup ke desa yang Subur tersebut.  
Manis Lebaran
            Setelah usai berhari raya, keesokan harinya yang masih merupakan rangkaian lebaran, mereka sebut dengan manis Lebaran. Hal juga sudah sangat lumrah pada masyarakat Bali setelah hari raya besar usai. Di hari ini biasanya warga Pegayaman manfaatkan untuk berziarah ke sanak famili yang berada di luar desa. Sebagian mengisi hari ini dengan berlibur ke tempat rekreasi bersama keluarga. Nampak warga mulai bersiap –siap. Sebagian dengan menggunakan mobil pribadi mulai meninggal rumah dan keluar desa untuk berziarah. Sementara sebagian lagi dengan menggunakan mobil pick up secara kolektif berangkat menuju tempat rekreasi.
Tempat yang paling banyak dipilih adalah tempat wisata kolam Air Sanih yang masih berada di kawasan Buleleng. Seorang pemuda menuturkan bahwa tempat wisata tersebut dipenuhi oleh warga Pegayaman sampai- sampai ada wisatawan luar Pegayaman tidak sempat mandi, hanya mencelupkan tangan ke kolam dan bergegas meninggalkan Tempat tersebut saking penuhnya. Untuk mengurangi pengeluaran, biasanya warga membawa makanan sendiri dari rumah dan menikmatinya bersama keluarga di tempat rekreasi tersebut.
Penutup
Sebuah pengalaman yang luar biasa bisa merayakan Hari besar nan fitrah di Desa Pegayaman meski penulis bukan umat Muslim. Setidaknya kita bisa mengambil hikmah dari rangkaian hari raya tersebut bahwasanya berbeda itu sesungguhnya sangatlah indah. Kita bisa memaknai perayaan tersebut sebagai bentuk percampuran Budaya Islam – Hindu sebagai ajang untuk saling mengisi, bukan berkonflik. Toleransi merupakan kata kuncinya. Mereka sangat terbuka dan saling menghormati. Terbukti dari diterimanya penulis selama beberapa hari untuk turut serta dalam perayaan hari besar tersebut, meski berbeda keyakinan. Hal ini terjadi karena memang mereka menganggap orang bali sebagai nyama atau saudara. Jika mereka bisa seperti itu, kenapa kita tidak?