Kamis, 24 April 2014

Hadrah: Kesenian Khas Pegayaman

Seni Hadrah merupakan salah satu kesenian khas yang terdapat di Desa Pegayaman. Kesenian ini juga kerap ditemukan di tempat lain seperti di Jawa. Hanya saja ada keunikan tersendiri sehingga seni hadrah di Pegayaman memiliki karakter tersendiri. Seni Hadrah merupakan seni tari yang di dalamnya terdapat unsur gerakan indah, seni suara dan instrumental. Seni ini melambangkan gerakan-gerakan prajurit dalam baris-berbaris. Dalam hal ini Wayan Hasyim menyatakan seni ini mirip dengan seni jangger dalam kebudayaan Bali. Setiap gerakan dalam seni ini merepresentasikan gerakan-gerakan dalam pencak silat. Semua gerakan diambil dari teknik-teknik pencak silat seperti kuda-kuda dengan mengepalkan tangan dan menyilangkannya di depan dada, kemudian gerakan memberikan pukulan dan sebagainya. Semua gerakan ini melambangkan kesiagaan pasukan dalam berperang. Seni semacam ini menjadi wajar berkembang di Desa Pegayaman, mengingat para leluhur mereka merupakan pasukan perang pada masa Kerajaan Buleleng.

            Seni vokal yang mengiringi berupa nyanyian yang diambil dari kitab Al Berzanji yang merupakan salah satu kitab yang cukup berarti bagi masyarakat Pegayaman. Dalam menyanyikan ini, semua pasukan penari juga turut ikut bernyanyi. Lagu yang dibawakan biasanya menggunakan bahasa Arab sesuai dengan isi kitab Al Berzanji. Namun belakangan beberapa sekaa sudah memodifikasinya dengan bahasa Indonesia sehingga lebih mudah untuk dipahami. Lirik berupa bahasa Indonesia ini biasanya bertemakan kebesaran Nabi Muhammad SAW, keberadaan masyarakat Pegayaman, makna perayaan Maulid dan sebagainya. Untuk mengiringi tarian serta nyanyian, digunakan rebana yang sudah berisi lempengan seng untuk menghasilkan suara lebih meriah. Para penabuh rebana ini memiliki dua fungsi yaitu sebagai penabuh dan juga bernyanyi saat kesenian dipentaskan.  Pakaian yang dikenakan juga menyerupai pasukan perang dalam baris berbaris. Idealnya kostum yang digunakan berupa songkok (peci), pakaian lengan panjang, celana panjang, sepatu hitam, selibah atau selempangan. Dalam istilah seni Hadrah songkok yang digunakan disebut polet. Polet adalah peci yang sudah dihiasi dengan pita merah putih di bagian sisi atas. Warna merah putih melambangkan semangat nasionalisme warga Pegayaman. Pakaian lengan panjang biasanya berwarna agak mencolok. Namun ada juga sekaa yang menggunakan pakaian lengan panjang berwarna putih polos seperti sekaa Hadrah Pegayaman (hasil observasi tanggal 14 dan 15 januari 2014). Selibah atau selempangan biasanya berupa kain kecil dengan lebar 5 centimeter dan diselempangkan dari pundak kiri sampai pinggang bagian kanan.

            Dalam pemetasan seni hadrah Pegayaman ada tiga unsur yang bisa dihilangkan yaitu angguk, hadi dan danton. Semua unsur memiliki tugas masing-masing sehinga tercipta karya seni yang apik. Angguk adalah sejumlah pasukan berbaris yang memiliki fungsi sebagai penari. Sementara hadi adalah sekelompok penabuh rebana yang juga memiliki tugas mernyanyi. Kemudian danton adalah pemimpin angguk. Angguk biasanya berjumlah 18 sampai 20 orang yang dipimpin oleh seorang danton. Sementara untuk hadi berjumlah 6 sampai 8 orang. Biasanya pakaian antar ketiga unsur dibedakan. Untuk danton berpakaian lebih meriah dengan tambahan rumbai-rumbai kecil di baju serta aksesoris tambahan di pundak atau sas. Sementara untuk hadi berpakaian batik.
            Pementasan seni hadrah ini dimulai dengan persiapan dari angguk yang dipimpin oleh danton. Semua aba-aba yang diberikan menggunakan bahasa arab. Pertama pasukan angguk akan disiapkan, kemudian memberikan hormat kepada penonton. Setelah usai, baru hadi mulai bernyanyi dan menabuh rebana. Pasukan angguk memulai gerakan tari setelah diberi perintah oleh danton. Biasanya gerakan akan dimulai dengan suara serentak dari angguk dengan suara ‘asik’. Barulah para angguk mulai menari. Gerakan dari tarian angguk sangat dinamis. Biasanya antar angguk dan hadi saling bersahutan dalam bernyanyi. Semakin lama tempo semakin dipercepat. Lama tarian dari 5 sampai 8 menit. Kesenian ini dilakukan oleh kaum pria dari umur belasan hingga 50 tahuan. Seperti sekaa hadrah Pegayaman yang saat ini sudah beranggotakan 30 orang dengan kisaran umur 20 sampai 50 tahun. Kesenian ini biasanya dipentaskan saat perayaan hari Maulid Nabi serta hajatan lain seperti sunatan dan nganten. Fungsi dari kesenian ini adalah sebagai hiburan. Pada saat ada hajatan nganten, biasanya kesenian hadrah akan mengiringi dalam prosesi ngidih ke rumah mempelai perempuan pada barisan paling belakang.
            Saat ini di Desa Pegayaman terdapat empat sekaa yakni Hadrah Pegayaman, Tembara di Banjar Kubu, Kuman Tegeh di Banjar Kubu Lebah, dan Hadrah Amerta Sari. Semua sekaa tidak memiliki sekretariat khusus. Latihan biasanya dilakukan secara bergilir di tempat anggota. Latihan intens akan dilakukan menjelang Maulid Nabi seperti sekaa hadrah Pegayaman yang melatih anggotanya setiap malam senin dan kamis. Cara rekruitmen anggota biasanya dilakukan secara sukarela. Jika ada warga yang hendak ingin menjadi anggota akan dipersilahkan asal ada kemauan. “jika ada yang mau gabung ya silahkan, mari kita belajar sama-sama” kata bendahara sekaa hadrah Pegayaman Nengah Zakaria.
              Dalam setiap kali pementasan yang bersifat pribadi seperti untuk upacara sunatan atau nganten, biasanya sekaa hadrah tidak menargetkan berapa upah yang harus dibayar. Mereka menyerahkan semuanya kepada tuan rumah. Biasanya uang diberikan atau impak akan dijadikan kas sekaa. Sementara dalam perayaan Maulid Nabi, biasanya para pemain hadrah akan mendapatkan berkah dari tuan rumah saat mengarak sokok seperti minuman, makanan dan sebagainya. Untuk kegiatan adat di Masjid juga mendapatkan berkah berupa bingkisan makanan dari panitia pelaksana. Selain itu pembagian sokok akan diutamakan bagi sekaa hadrah mengingat partisipasinya dalam perayaan Maulid. Partisipasi Hadrah dalam perayaan Maulid Nabi sangat besar meskipun tidak mendapat imbalan berupa uang. Semua dilakukan secara sukarela untuk meneruskan tradisi leluhur. Seperti diakui oleh Nengah Zakaria, dirinya mengikuti kesenian ini karena ingin melestarikan budaya leluhur. Meski baru bergabung beberapa bulan, ia sama sekali tidak mengharapkan imbalan apapun. “ini murni untuk mempertahankan budaya leluhur kami, jangan sampai anak cucu kami tidak bisa menyaksikan kesenian ini” tambahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar