Nyama Selam,
mungkin masih asing di telinga kita. Dua kata tersebut merupakan sebutan bagi
mereka umat muslim yang sudah mengintroduksikan budaya Bali dalam kehidupannya.
Dalam bahasa Bali, nyama berarti saudara dan Selam berarti Islam. Jadi mereka adalah sudara kita
(Orang Bali) yang beragama Islam. Nyama
selam saat ini sudah diakui sebagai salah satu etnis yang mendiami pulau
seribu Pura ini (sumber: BPSNT BALI, NTB, NTT). Sementara mereka menyebut kita
( Orang Bali yang Beragam Hindu) sebagai Nyama Bali. Dari penggunaan istilah
tersebut jelas bahwa sesungguhnya kita adalah saudara yang mungkin dalam
beberapa hal memiliki perbedaan. Yang membedakan jelas adalah Agama. Kenapa ini bisa terjadi? Sejarahlah jawabannya.
Salah satu Nyama Selam yang ada di Buleleng adalah Masyarakat desa Pegayaman.
Desa ini terletak di dataran tinggi dengan ketinggian antara 450 sampai 1.200
meter di atas permukaan laut. Jarak sekitar 65 Km dari Kota Denpasar atau
sekitar 9 Km dari kota Singaraja. Jalan menuju desa ini berada di jalan raya
Singaraja- Denpasar sehingga kita akan mudah menemukannya. Plang menunjuk jalan
dan infranstuktur jalan yang memadai akan memudahkan kita sampai di Desa yang
terkenal akan hasil perkebunan cengkehnya. Desa ini terbagi menjadi 5 dusun
atau Banjar yaitu Banjar Dauh Margi, Dangin Margi, Kubu, Kubu Lebah dan Amerta
Sari.
Orang Pegayaman tak ada bedanya
dengan orang Bali pada umumnya. Bentuk fisik yang sama, bahasa yang sama
menjadikan kita susah membedakan mereka dengan orang Bali. Bedanya adalah mereka
menggunakan jilbab atau peci jika keluar desa untuk suatu keperluan. Sejarah
mencatat bahwa mereka merupakan campuran dari 3 etnis yang berbeda yaitu Bali,
Jawa dan Bugis. Kisah mereka berawal dari masa pemerintahan KI Barak Panji
Sakti di kerajaan Buleleng pada abad ke 16. Pada saat itu, dengan pasukan
Goaknya, Ki Barak Panji Sakti berhasil Mengepung Kerajaan Blambangan di Jawa
Timur. Kabar kemenangan tersebut tersebar luas hingga sampai ke kerajaan Mataram
yang saat itu di perintah oleh Dalem Solo. Untuk menghindari peperangan lebih
lanjut, mereka akhirnya sepakat untuk melakukan genjatan senjata. Selanjutnya,
Dalem Solo menghadiahi seekor Gajah beserta 8 patih dari kerajaan Mataram yang
saat itu sudah beragama Islam untuk mengiringi Ki Barak Panji Sakti bertolak ke
Bali.
Sesampainya di Bali, para Patih
tersebut ditempatkan di sebuah tempat yang saat ini disebut Banjar Jawa. Mereka
memiliki tugas untuk membantu kerajaan Buleleng dalam menghadapi kerajaan –
kerajaan lain yang hendak menyerang. Benar saja, ketika kerajaan Mengwi Tabanan
menyerang, merekalah yang memimpin pasuka dibantu dengan pasukan Teruna Goak. Pasukan
Mengwi akhirnya berhasil digempur Mundur hingga ke Desa Benyah atau saat ini menjadi
Desa Pancasari hingga ke Desa Taman Tanda, Baturiti. Berkat jasanya tersebut,
para Patih dihadiahi tanah di perbatasan Buleleng- Tabanan dan dipersilahkan
membuka lahan seluas – luasnya. Tempat tersebut dulunya terkenal sangat angker.
Dengan keberanian dan kemampuan para patih ini, mereka berhasil membangun
sebuah desa di lereng bukit itu. Selain itu berkat jasa – jasanya dalam
membantu Kerajaan Buleleng seorang Gadis keturunan Raja Buleleng dihadiahkan
kepada salah seorang Patih. Di sinilah mulai terjadi percampuran Budaya antara
jawa (Islam) dan Bali (Hindu).
Beberapa lama kemudian, sekita tahun
1850an, Kapal ekspedisi Raja Hasanudin dari Sulawesi yang hendak menuju Jawa
dan Madura terdampar di perairan Buleleng. Sebanyak 40 pasukan Bugis tersebut
menghadap secara baik – baik ke Raja Ki Barak Panji Sakti. Mereka kemudian
disambut hangat oleh raja dan diberikan kebebasan untuk memilih tinggal di
pesisir atau di desa pegayaman mengingat mereka beragama Islam. Sebagian
memilih di pesisir karena orang Bugis terkenal sebagai penjelajah laut dan
sebagian lagi memilih bergabung dengan orang Pegayaman karena alasan Agama.
Itulah asal mula mereka berasal dari 3 suku yaitu Jawa, Bali dan Bugis.
Karakter ketiga etnis sampai saat
ini masih ditemukan pada diri orang Pegayaman. Jawa dengan lembut, sopan, dan
bertaninya, kemudian Bali dengan adat dan rangkaian upacaranya serta Bugis
dengan karakter kerasnya. Jika kita bertemu dengan Orang Pegayaman tata krama
dan sopan santunya akan muncul seketika saat kita mulai berbincang. Sementara
dalam beberapa kegiatan keagamaan maupun sosialnya, kita masih jumpai adat Bali
– Hindunya dan sewaktu – waktu apabila dalam keadaan terdesak, watak Bugisnya
muncul. Mereka tidak segan – segan menggunakan kekerasan untuk menyelesaikan
masalah.
Sementara mengenai asul – usul nama
desa, setidaknya ada dua versi yang bisa kita gunakan sebagai referensi. Versi
pertama adalah berasal kata Gayam
(bahasa Jawa) yaitu sejenis tumbuhan yang buahnya bisa kita konsumsi. Dalam
bahasa Bali disebut buah gatep. Konon
sebelum dibuka menjadi pemukiman, tempat tersebut banyak ditemukan pohon Gatep atau Gayam sehingga disebut desa Pegayaman. Untuk versi kedua berasal
dari Keraton Surakarta, Solo. Di Keraton Solo terdapat sebuah keris yang
bernama Gayam. Hal ini menandakan bahwa orang Pegayaman merupakan kerabat dari
Keraton Solo. Hal ini pun sudah diakui pihak Keraton Solo melalui ekspedisi
sejarah Pegayaman pada tahun 2007. Ekspedisi tersebut difasilitasi oleh Puri
Buleleng.
Percampuran budaya Islam – Bali sudah
terjadi semenjak pertama kali berdirinya desa ini sekitar abad ke 16.
Percampuran oleh beberapa pihak diklaim berawal dari perkawinan campuaran
antara orang Pegayaman dan orang Bali.
Percampuran ini sampai saat ini masih terlihat. Misalnya saja dalam bahasa,
sampai saat ini mereka menggunakan bahasa Bali dan mengenal Sor singgih Basa Bali. Dalam penamaan,
layaknya orang Bali mereka juga melekatkan Wayan untuk anak pertama, Nengah
untuk anak kedua, Nyoman untuk anak ketiga dan Ketut untuk anak keempat . Hanya
saja tidak ada Wayan, Nengah atau Nyoman tagel
atau yang kedua. Nama mereka hanya
berakhir pada Ketut. Untuk anak ke lima, dan seterusnya tetap menggunakan nama
Ketut. Selain itu, dalam beberapa hari besar Islam, mereka juga menggunakan
rangkaian kegiatan layaknya orang bali. Pada hari Maulid Nabi misalnya atau
mereka menyebutnya dengan muludan, rangkaian
perayaannya hampir mirip dengan upacara Piodalan pada masyarakat Hindu.
Rangkaiangnya bisa sampai sebulan penuh dengan puncak acara mengarak sokok base seperti gebogan lengkap dengan daun, buah dan bunganya. Arak – arakan
dilakukan sepanjang desa. Selain itu pada perayaan Lebaran, kita juga jumpai
budaya Balinya yang sepertinya sudah mengakar. Rangkaian ini dimulai dari Penapean, Penyajaan, Penampahan Lebaran dan
Umanis Lebaran.
Penapean
Dalam
Budaya Hindu Bali, tape merupakan salah satu sajian wajib pada hari – hari besar
tertentu seperti Galungan dan Kuningan. Begitu
pula di Desa ini. Tape sudah menjadi sajian wajib saat Idul Fitri. Penapean ini biasanya dilakukan 3 hari
sebelum Lebaran karena tape membutuhkan waktu sampai 3 hari untuk fermentasi.
Tape yang mereka buat juga sama seperti yang disajikan orang Bali saat galungan
yaitu Tape beras atau Tape ketan Hitam. Kegiatan Penapean biasanya dilakukan
oleh ibu – ibu di rumah masing –masing. Saking pentingnya tape saat perayaan
lebaran, beredar mitos bahwa apabila seorang istri tidak bisa membuat tape akan
mengakibatkan ketidakharmonisan dalam berumah tangga. Bahkan hingga sampai pada
perceraian. Inilah sebabnya apabila pemuda ingin mencari Istri harus yang mampu
membuat Tape sendiri. Namun mitos tersebut telah tenggelam dimakan kemajuan
Zaman.
Penyajaan
Penyajaan
dalam bahasa Indonesia berarti membuat jajan. Masyarakat Pegayaman sudah
mempersiapkan segala macam jajanan yang akan disajikan saat Lebaran dua hari
sebelumnya. Jajanan tersebut akan disajikan saat ada kunjungan dari sanak
saudara, kerabat, tetangga dan sebagainya untuk bersilahturahmi atau dalam
istilah mereka berziarah saat Lebaran. Jajanan tersebut akan disajikan di meja tamu
atau di ruang tamu selama Lebaran berlangsung. Yang unik dari sederetan jajana
tersebut adalah jaja Uli ketan dan
dodol yang merupakan ciri khas Bali. Dua jajan ini juga merupakan jajanan yang
wajib ada saat Lebaran. Biasanya kedua jajan tersebut disajikan dengan tape
sebagai pelengkapnya. Selain itu juga disajikan jajanan seperti kripik, roti,
jajanan kering modern lainnya. Pada jaman dulu, biasanya mereka membuat sendiri
aneka jajanan tersebut. Namun di era modern ini biasanya mereka tidak sempat
membuat dan mamilih untuk membelinya. Namun untuk jaja uli ketan dan dodol biasanya harus di buat sendiri.
Penampahan
Sehari menjelang Lebaran disebut
dengan Penampahan. Dalam bahasa indonesia tampah berarti memotong daging.
Layaknya orang Bali, mereka mempersiapkan daging untuk sajian saat Lebaran
dilakukan sehari sebelum hari raya tersebut. Biasanya daging yang mereka
gunakan adalah ayam, sapi, atau kambing sesuai dengan ajaran Islam. Untuk ayam
biasanya mereka memotong sendiri di rumah masing – masing. Sementara daging
kambing atau sapi mereka lakukan secara kolektif. Dengan patungan mereka
membeli sapi atau kambing dan memotongnya kemudian di bagi rata sesuai dengan
kesepakatan. Sesuai dengan ajaran Islam, mereka dilarang keras untuk membeli
daging diluar orang muslim. Hal ini disebakan karena dalam ajaran mereka ada
doa – doa tertentu yang harus dipanjatkan sebelum hewan dipotong agar mendapat
restu dari Tuhan. Selain itu juga untuk meminta maaf ke hewan yang hendak
dipotong sehingga daging yang dikonsumsi bisa dikatakan Halal.
Kemeriahan warga Pegayaman menyambut hari kemenangan |
Yang unik lagi pada hari ini
terlihat ketika surya mulai merapat ke kiblat. Ibu – ibu dan remaja putri mulai
nampak dengan menyuun nampan besar
yang ditutup dengan penutup makanan. Penutup tersebut mereka sebut dengan saab, perlengkapan orang bali saat
bersembahyang. Prosesi tersebut disebut dengan ngejot. Ngejot merupakan
sebuah aktivitas dimana seorang warga memberikan jajanan atau makanan kepada
sanak famili, kerabat, tetangga, orang yang dihormati dan sebagainya saat hari
– hari tertentu. Dalam prosesi tersebut, warga Pegayaman biasanya menyuguhkan
aneka jajanan seperti dodol, jaja uli dan tape dan makanan seperti nasi lengkap
dengan lauknya dan Sayur. Saat sampai di tujuan, mereka langsung menyerahkan
sajian tersebut kepada warga yang dituju. Ketika hendak pulang, tuan rumah juga
biasanya membalas dengan memberikan jajanan dan makanan yang sama yang ada
rumah untuk diberikan kembali kepada yang orang ngejot tadi. Sebuah transaksi yang unik. Biasanya sajian tersebut
digunakan untuk berbuka puasa di akhir – akhir puasa. Sebuah tradisi yang penuh
dengan makna dan filosofi. Hal tersebut tak ubahnya dengan tradisi ngejot yang dilakukan orang Bali saat hari besar umat
Hindu.
Pada malam harinya, seperti layaknya
warga muslim ditempat lain, mereka juga melakukan prosesi malam Takbiran. Gema
Takbir terus berkumandang sebagai lambang kemenangan kaum Muslim karena sudah
mampu melewatkan puasa selama sebulan penuh. Alunan takbir yang mengumandangkan
“Allah Wu Akbar” seolah sebagai lonceng pemanggil warga untuk segera berkumpul
di Masjid. Setelah semua warga berkumpul, Imam Masjid memberikan arahan teknis
Takbiran kepada warga. Para tetua Desa, Imam, Ustad, Ulama dan parat desa
berada di barisan paling depan. Disusul dengan anak – anak serta orang tua dan
para pemuda dan pemudi. Letusan kembang api dan mercon seolah menambah
semaraknya malam kemenangan tersebut. Ketika bersiap berjalan, para pemuda dan
anak – anak yang sudah menyiapkan obor sebelumnya langsung meyalakannya. Gema
takbir terus berkumandang dari pengeras suara masjid ditambah lagi dari warga
sebagai wujud syukur kepada Tuhan. Sepanjang perjalanan megitari desa,
kumandang tersebut tak juga reda seakan mereka dengan tulus mengagungkan nama
Tuhan. Mercon dan kembang apipun terus mengiringi perjalan suci tersebut. Yang nampak saat itu
adalah kobaran api yang berasal dari obor serta mercon dan kembang api serta
gema “Allah Wu Akbar”. Seketika desa tersebut yang biasanya sepi, senyap
berubah menjadi semarak. Di tengah perjalanan, terlihat api besar membumbung
tinggi ke angkasa. Seketika pula warga yang turut dalam rombongan terenyang.
Ternyata api tersebut berasal dari salah seorang pemuda yang meyemprotkan
minyak atau cairan yang mudah terbakar ke arah obor. Seketika pula api besar
membumbung dari obor tersebut. Seperti itulah warga Pegayaman merayakan
kemenangan di hari yang suci tersebut.
Sesampai di Masjid, gema tersebut
tak kunjung usai. Alunan mercon dan indahnya kembang api juga tak surut. Sebuah
wujud kegembiraan warga menyambut hari nan fitra. Warga satu – persatu
meninggalkan masjid dan kembali ke rumah masing – masing. Dari pengeras suara
masjid terus berkumandang Gema takbir hingga subuh. Bahkan anak – anakpun ikut
berpartisipasi dalam aktivitas tersebut. Terdengar dari suara yang agak serat
dan agak malu – malu dari arah pengeras suara masjid. Seperti itulah warga
pegayaman menyemarakkan malam takbiran sebagai wujud syukur di hari kemenangan.
Lebaran
Pagi
subuh di hari Idul fitri 1 Syawal 1433, masih terdengar sura takbir Tuhan.
Seolah suara mereka tak habis –habisnya semalam suntuk mengumandangkan “ Allah
Wu Akbar”. Suasana mulai kembali riuk ketika mentari menampakkan diri. Seluruh
warga bersiap merayakan kemenangan dengan sholat atau menurut istilah orang
pegayaman Sembahyang Id dan berziarah. Seperti pada lebaran – lebaran sebelumnya,
mereka melakukan Sembahyang Id pada pukul 10:00 Wita. Yang wajib melakukan
sembahyang Id di masjid adalah kaum Pria sementara para wanita melakukannya
secara berjamaah di rumah atau di mushola terdekat. Untuk sembahyang Id di luar
masjid bisa dilakukan sebelum atau seusai sembahyang Id di Masjid.
Mendekati
pukul 10:00, Imam masjid kembali mengingatkan warga melalui pengeras suara agar
segera merapat ke masjid. Tentu saja dengan menggunakan Bahasa Bali Alus. Setelah
warga terkumpul sebagian mulai masuk ke areal masjid dan sebagian lagi masih
duduk sambil merokok di areal parkir. Biasanya mereka yang segera masuk masjid
adalah para orang tua untuk mempersiapkan tempat dan menggelar sajadah tempat
bersimpuh memuja Tuhan. Sementara yang menunggu di parkiran adalah pemuda. Ada
yang unik ketika mereka sedang asyik menunggu. Seorang pemuda terlihat
melepaskan gelang karet yang ada di tanggannya secara paksa. Sepertinya gelang
yang berwarna hitam dan putih dan berjumlah lebih dari 6 tersebut sudah lama
melekat di lengannya. Dengan sekuat tenaga gelang tersebut berhasil diputus dan
lepas. Mungkin saja pemuda tersebut ingin berpenampilan sempurna ketika berada
di Rumah Tuhan untuk bersujud memuja kebesaranNya. Dari dalam masjid terdengar
kembali gema yang mengagungkan nama Tuhan dari para Imam masjid yang diikuti
oleh Jemaah. Secara bergantian kebesaran Tuhan terus dikumandangkan hingga doa
sembahyang Id mulai terdengar. Para pemuda yang awalnya masih bersantai,
bergegas masuk ke areal masjid untuk mengikuti sembahyang Id. Dari arah berbeda
datang pula para jemaah yang tergesa – gesa masuk ke masjid. Susana seketika
hening ketika doa – doa sembahyang Id mulai dikumandangkan.
Sekitar
15 menit kemudian, sembahyang Id berakhir yang selanjutnya adalah penyampaian
Khotbah dari ulama masjid. Awalnya para jamaah sudah diingatkan agar terus
berada di masjid sebelum acara usai. Namun nampaknya sebagian pemuda tidak
tertarik untuk mendengarkan khotbah dan langsung meninggalkan masjid. Sementara
yang masih bertahan di sana adalah para Orang tua dan sebagian pemuda. Isi
khotbah tersebut adalah esensi dari puasa selama sebulan serta makna hari
kemenangan. Tak lupa Ulama menyelipkan pesan – pesan yang ada dalam ajaran Islam
kepada jamaah.
Khotbahpun
usai, suasana dari dalam masjid kembali riuh. Semua jemaah secara bergantian
bersalaman dengan para ulama dan Imam masjid tak lupa mengucapkan mohon maaf
lahir batin. Setelah silahturahmi dengan Ulama usai, mereka mulai meninggalkan
masjid dan pulang ke rumah masing – masing.
Di
tempat yang berbeda, warga nampak ramai berjalan menuju kuburan atau pemakamam
umum di Pegayaman. Dengan berbondong – bondong bersama keluarga, mereka mulai
mendekati makam kelurga yang telah mendahului menghadap Tuhan. Doa – doa
diucapkan untuk mendoakan agar mendapat tempat yang layak di sisi Beliau.
Tangisan serta air mata pun turut menambah khusuknya berziarah. Setelah usai
doa, mereka kemudian menabur bunga dan air sebagai tanda keiklasan keluarga
yang ditinggalkan. Mereka kemudian berpamitan dan jalan menuju pulang.
Di
tengah perjalana, berjabat tangan dengan warga lain seolah mejadi kewajiban.
Ketika bertemu dengan orang yang dikenal mereka langsung mengucapkan “ Selamat
Hari Raya Idul Fitri, Minal Aidzin Wal
Faidzin” sambil berjabat tangan. Dari arah berbeda terdengar pula “Lahir
Batin, Mbok”, seolah kata tersebut sudah mewakili permohonan maaf akan
kesalahan – kesalahn yang telah diperbuat. Hampir semua warga tumpah ruah di
jalanan. Pihak kepolisian turut bersiaga untuk mengawal jalannya hari raya.
Seperti itulah pemandangan yang terlihat di desa nan unik tersebut hingga
matahari menyongsong ke barat.
Di
rumah – rumah warga, keluarga, kerabat, tetangga mulai berdatangan untuk
bersilaturahmi sambil berbincang – bincang. Aneka jajanan yang telah disiapkan
sebelumnya disajikan di atas meja tamu. Tak lupa jaja uli ketan, dodol dan tape yang merupakan ciri khas Lebaran
turut disuguhkan. Seperti itulah aktivitas mereka sampai kegelapan mulai
menyusup ke desa yang Subur tersebut.
Manis
Lebaran
Setelah usai berhari raya, keesokan
harinya yang masih merupakan rangkaian lebaran, mereka sebut dengan manis
Lebaran. Hal juga sudah sangat lumrah pada masyarakat Bali setelah hari raya
besar usai. Di hari ini biasanya warga Pegayaman manfaatkan untuk berziarah ke
sanak famili yang berada di luar desa. Sebagian mengisi hari ini dengan
berlibur ke tempat rekreasi bersama keluarga. Nampak warga mulai bersiap –siap.
Sebagian dengan menggunakan mobil pribadi mulai meninggal rumah dan keluar desa
untuk berziarah. Sementara sebagian lagi dengan menggunakan mobil pick up
secara kolektif berangkat menuju tempat rekreasi.
Tempat
yang paling banyak dipilih adalah tempat wisata kolam Air Sanih yang masih
berada di kawasan Buleleng. Seorang pemuda menuturkan bahwa tempat wisata
tersebut dipenuhi oleh warga Pegayaman sampai- sampai ada wisatawan luar
Pegayaman tidak sempat mandi, hanya mencelupkan tangan ke kolam dan bergegas
meninggalkan Tempat tersebut saking penuhnya. Untuk mengurangi pengeluaran,
biasanya warga membawa makanan sendiri dari rumah dan menikmatinya bersama
keluarga di tempat rekreasi tersebut.
Penutup
Sebuah
pengalaman yang luar biasa bisa merayakan Hari besar nan fitrah di Desa
Pegayaman meski penulis bukan umat Muslim. Setidaknya kita bisa mengambil
hikmah dari rangkaian hari raya tersebut bahwasanya berbeda itu sesungguhnya
sangatlah indah. Kita bisa memaknai perayaan tersebut sebagai bentuk
percampuran Budaya Islam – Hindu sebagai ajang untuk saling mengisi, bukan
berkonflik. Toleransi merupakan kata kuncinya. Mereka sangat terbuka dan saling
menghormati. Terbukti dari diterimanya penulis selama beberapa hari untuk turut
serta dalam perayaan hari besar tersebut, meski berbeda keyakinan. Hal ini
terjadi karena memang mereka menganggap orang bali sebagai nyama atau saudara. Jika mereka bisa seperti itu, kenapa kita
tidak?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar