Cerita ini dimulai ketika pertama kali saya sampai di tanah
Daeng, Makassar. Sesaat setelah sampai saya dijemput sahabat, teman, kawan dan
kerabat dari Universitas Hassanudin. Mengetahui saya berasal dari Bali yang
terkenal dengan arak Balinya, sayapun disuguhkan minuman penghangat khas dari
tanah Sulawesi Selatan, Ballo. Warnanya putih layaknya tuak yang sering saya
tenggak ketika berada di kampung halaman. Sebotol air mineral berukuran besar
yang terisi dengan ballo sudah berada dihadapan kami. Mengingat saya bukan
orang lokal disana, saya mencoba mengikuti aturan di daerah tersebut mengenai
prosesi minumnya. Saya akui teman saya bukanlah peminum, namun karena
menghormati saya sebagai tamu, merekapun ikut nimbrung dan sesekali menenggak
arak khas Makassar itu. Karena sudah terbiasa, saya sering sekali meminum satu
gelas penuh ballo yang sudah dituangkan dalam gelas. Maklum, ini tradisi saya
ketika ‘berlayar’ di Bali. ketika gelas yang sudah terisi ballo mampir ke salah
seorang teman saya, dia hanya menenggaknya sebagian. Saya bisa memahami karena
memang ini bukan tradisinya. Secara spontan, teman saya yang lain nyeletuk dengan
bilang “ ini siri lo jika tidak dihabiskan” dengan logat khas makassarnya. Dia sih
bukan orang Makassar tapi orang Barru. Di forum inilah saya mendengar pertama
kali kata ‘siri’. Dalam otak saya mungkin kata siri itu artinya memalukan
karena tidak bisa menghabiskan ballo segelas, dan pamali kalo di buang karena
dalam tradisi saya, ketika gelas sudah ditenggak, sisanya akan dibuang. Ternyata
konsep siri bagi mereka tidak sedangkal itu.
Siri dalam masyarakat Bugis-Makassar merupakan kehormatan
yang harus dijaga bahkan sampai darah penghabisan (Menurut teman saya). B.F.
Matthes memberikan pengertian siri sebagai rasa malu, ketika kehormatannya
merasa dilecehkan dan tersinggung dan sebagainya. C. H. Salam Basjah memberikan
pengertian siri dalam tiga hal yang meliputi malu, motivasi untuk membinasakan
siapa saja yang mempermalukan keluarga, dan daya dorong untuk bekerja dan
berusaha sebanyak mungkin (Mattulada, Dalam Koenjtaraningrat 2007). Dalam film ‘
Badik Titipan Ayah’ karya Dedi Mizwar
juga menenpatkan konsep Siri sebagai
sesuatu yang sangat menodai keluarga Bugis. Bahkan jalur kekerasan dtempuh ole
keluarga Karaeng untuk menebus apa yang telah dilakukan anaknya beserta
pacarnya yang telah melakukan ‘Palariang’ yaitu kawin lari tanpa sepengetahuan
dan restu dari kedua orang tua.
Bagi orang Bugis, Siri merupakan sesuatu yang sangat
memalukan. Mereka akan melakukan apa saja untuk membalas seseorang yang telah
melecehkan dan menginjak-nginjak kehormatan mereka. Tidak terkecuali kekerasan.
Teman saya pernah bercerita di sebuah desa pernah terjadi pembunuhan karena
alasan siri. Secara hukum dan hak asasi manusia hal tersebut sudah tentu tidak
dibenarkan. Namun bagi keluarga dan masyarakat Bugis hal itu wajar-wajar saja. Bahkan
warga sekampung mendemo aparat kepolisian karena menahan orang yang membunuh
tersebut. Mereka berpendapat bahwa apa yang dilakukan si pelaku sudah tepat
karena itu sudah adat.
Bercermin dari cerita teman saya tersebut, saya yakin warga
Bugis tidak menginginkan pertumpahan darah terjadi hanya karena dianggap siri. Saya
yakin orang Bugis cinta damai dan tidak suka kekerasan. Namun hal tersebut juga
tidak bisa disalahkan begitu saja, karena ini memang tradisi dimana masyarakat
Bugis sangat menjunjung tinggi norma dan adat yang diwariskan. Hanya saja
ketika jalur kekerasan dipilih, ini sudah tidak wajar lagi. Sekali lagi jika
ini dikaitkan dengan hukum normatif dan hak asasi manusia, maka pembunuhan
tetap saja bukan jalan keluar.
Siri dalam masyarakat Bugis memiliki filsafat yang luar
biasa jika masyarakat Bugis bisa memahaminya. Saya yakin nenek moyang orang
Bugis menciptakan konsep Siri sebagai sebuah falsafah hidup untuk menjaga
keharmonisan masyarakat. Dalam istilah kerennya disebut kontrol sosial. Setiap orang
pasti memiliki rasa malu. Ini alamiah. Ketika rasa malu itu datang setiap orang
akan berusaha untuk mereflesikan diri kenapa hal tersebut bisa terjadi. Setelah itu
dia akan berusaha untuk mempelajari kesalahan dalam dirinya yang menyebabkan
dia malu. Orang tersebut pasti akan berusa belajar dari pengalaman sehingga
rasa malu tidak muncul dikemudian hari. Contoh kecilnya adalah ketika seorang
anak SD berpakaian pramuka ketika upacara bendera hari senin. Dari kesalahannya
itu setidaknya dia belajar bahwa pada saat hari senin harus berpakaian seragam
merah putih. Begitu pula teman-temannya pastilah akan mengingatkan kesalahan
yang telah diperbuat anak tersebut.
Bercermin dari contoh kecil itu setidaknya orang Bugis
bisa memaknai kata siri itu sebagai media pembelajaran. Kata siri seharusnya tidak
dimaknai seekstrem itu sehingga terjadi kekerasan. Semua orang memiliki rasa
malu, tetapi bukan berarti malu itu dijadikan kambing hitam sehingga muncul
dendam, benci dan sebagainya. Saya meyakini leluhur orang Bugis
mengkonstruksikan siri itu sebagai kontrol sosial agar kita tidak melakukan
kesalahan di kemudian hari. Seseorang wajib menjaga kehormatan diri, keluarga,
bangsa dan Negara. Begitu pula orang Bugis diharamkan menginjak kehormatan
orang lain. Ajaran ini begitu adi luhung juka dipahami secara bijak. Setidaknya
ketika siri itu muncul, kita harus berfikir kenapa itu bisa muncul. Tidak mentang-mentang
menyalahkan orang yang telah melakukan siri tersebut. Dengan menelusuri latar
belakang siri tersebut, tidak menutup kemungkinan kesalahan ada pada diri kita.
Dengan mengetahui hal tersebut kita bisa belajar untuk tidak melakukan hal
tersebut.
Kembali ke cerita dalam film ‘Badik Titipan Ayah’. Andai saja
Daeng Karaeng bisa mengetahui kesalannya sehingga anaknya melakukan palariang,
mungkin hidupnya bisa lebih panjang dan bisa melihat cucu pertamanya tumbuh dan
berkembang. Bukan malah berfikir kalau itu adalah siri dan orang yang melarikan
anaknya harus mati dengan badik warisan keluarga tersebut. Pada akhirnya yang
meninggal adalah dia sendiri. Andai saja Daeng Karaeng bisa memahami bagaimana perasaan anaknya dan sedikit menyingkirkan egonya, niscaya hal
tersebut tidak terjadi. Padahal, akar pemasalahanya adalah kisah klasik bak Romeo dan Juliet, dimana keluarga Daeng Karaeng pernah memiliki masalah dengan
keluarga besar calon menantunya itu sehingga ia tidak menyetujui perkawinan
tersebut.
Siri jika dipahami sebagai falsafah hidup merupakan ajaran
yang luar biasa. Siapa sih yang ingin dipermalukan? Hanya saja bagaimana kita menanggapi rasa malu
itu secara bijak. Bukan malah menimbulkan dendam benci dan sebagainya. Bukankah
hidup damai itu indah? Bukan begitu Ji? Ia toh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar