Jumat, 14 Juni 2013

Deeng Khas Buleleng

Gambar di atas bukanlah acara pernikahan massal Orang bali atau pawai pembukaan Pesta Kesenian Bali. Mereka sedang melakukan tradisi sebegai bentuk penghormatan kepada leluhur mereka yang disebut dengan Deeng pada saat upacar ngaben berlangsung

Deeng merupakan salah satu bagian yang tidak terlepaskan dari rangkaian upacara Pitra Yadnya atau ngaben pada tingkat utamaning utama. Deeng biasanya dilakukan sehari sebelum dilaksanakan ngaben. dengan menggunakan pakaian deeng layaknya sepasang pengantin, para muda-mudi yang merupakan keturunan atau pratisentana sang lina berjalan mengelilingi desa. Selain remaja, deeng juga kerap diikuti oleh anak-anak.
Selain para remaja, Deeng juga kerap diikuti oleh anak-anak dengan busana layaknya pengantin cilik
Di daerah Bali Selatan, khusunya Denpasar dan badung deeng sering disebut Peed atau Mapeed. Biasanya di daerah ini, peed hanya dilakukan oleh keluarga kerajaan atau puri jika sedang melakukan upacara Palebon. 
Berbeda dengan di Buleleng, Deeng bisa dilakukan oleh masyarakat biasa yang sedang melakukan upacara Palebon pada tingkat paling tinggi. Pesertanya adalah keturunan atau kerabat seperti cucu, kumpi (cicit), buyut dan seterusnya dari orang yang diaben. Mereka berpasangan pria dan wanita dengan mengenakan pakaian layaknya seorang pengantin. Peserta deeng biasanya menunggu di depan rumah untuk menunggu iring-iringan deeng datang dan ikut bergabung. Maknanya adalah sebagai tanda bahwa keluarga deeng memiliki hubungan darah dengan orang yang diaben. Deeng berbaris sesuai pasangan dengan memegang seutas tali yang terbuat dari benang dimana diujungnya diikat pada uang kepeng atau pis bolong. Maknanya adalah mereka ingin mengantarkan atau nandanin sang lina agar mendapatkan tempat yang layak menuju alam nirwana serta agar upacara Palebon berjalan lancar.
Deeng dilakukan sehari sebelum upacara palebon dengan iring-iringan paling depan berupa Bebangkit sejenis bade kecil yang biasanya diarak oleh anak-anak. selanjutnya disusul dengan dawang-dawang atau sejenis ondel-ondel di Jakarta atau Barong Landung di Bali Selatan. Dawang-dawang menyerupai pria dan wanita ini memiliki makna sebagai purusa pradana atau Rwa Binedha yaitu dua hal yang berbeda dan selalu berdampingan di dunia ini. Iringan selanjutnya berupa damar kurung (sejenis kerangjang kecil yang di yang ditutup dengan kain, di dalamnya diletakkan lilin yang sedang menyala seperli Lampion pada Budaya tionghoa). Damar Kurung memiliki makna sebagai penerangan dengan tujuan agar upacara yadnya berjalan dengan lancar dan digantungkan pada babmu kuning yang masih ada daunnya. Selanjutnya aneka bambu kuning yang masih ada daunnya digantungi pakaian adat bali pria dan wanita disusul dengan aneka upakara atau banten sebagai bentuk persembahan kepada Tuhan atau Ida sang Hyang Widhi Wasa. Setelah itulah barisan deeng bejalan. Di belakang barisan Deeng, para keluarga dan kerabat sang lina mengikuti dengan menggunakan pakaian adat Bali lengkap dengan payasan layaknya sembahyang ke Pura. Hal ini bermakna sebagai bentuk suka cita para keturunan dan kerabat sang lina karena sudah bisa membayar hutang kepada orang tua atau dalam ajaran Hindu dikenal sebagai Pitra Rna. di barisan terakhir barulah para sekee gong dengan mebunyikan suara gong sebagai bentuk suka cita dan memabah semarak.
Akhir-akhir ini, tradisi deeng sudah mengalami beberapa perubahan. Dahulu biasanya para deeng tidak menggunakan alas kaki sepanjang perjalanan mengelilingi desa dengan makna sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada sang lina, namun sekarang deeng diperbolehkan menggunakan alas kaki. Hal ini bisa dimaklumi mengingat jalan yang mereka lintasi berupa aspal dan dilakukan pada saat matahari masih terik. Kemungkinan dahulu belum ada aspal dan jalan yang dilalui berupa tanah sehingga deeng tidak mengalami kesulitan meski tanpa alas kaki. Perubahan lainnya adalah, dahulu deeng dilakukan memang khusus untuk deeng dengan iring-iringannya, namun saat ini sangat jarang yang melakukannya mengingat memerlukan biaya yang cukup besar untuk menyiapkan semuanya. Meski demikian, orang Buleleng tidak meninggalkan begitu saja tradisi tersebut. Mereka menyiasatinya dengan memasukkan iringan deeng pada saat nunas toya ning atau manah tirta di sumber mata air yang dianggap suci oleh masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh warga Banjar Badung Desa Bungkulan Buleleng pada saat melaksanakan upacara ngaben bersama atau sadaya. Mereka memasukkan iringan deeng sekitar 20 pasangan pada saat nunas toya ning ke sumber mata air atau petirtan di desa tersebut. Dalam istilah masyarakat Desa Bungkulan tempat petirtan itu disebut panti. Makna deeng masih tetap sama yaitu untuk mengantarkan sang lina menuju alam nirwana serta bentuk suka cita para keturunan dan kerabat karena sudah mampu melakukan upacara pengabenan sebagai bentuk pengamalan ajaran Panca Yadnya dan Tri Rna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar