Minggu, 16 Juni 2013

Mitos di Balik Tradisi Penguburan Masyarakat Terunyan

Terunyan merupakan salah satu desa tradisional yang berada di Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli Propinsi Bali. Desa ini tepat berada di pantai timur Danau Batur yang sudah melegenda di Pulau Bali. Masyarakat yang mendiami desa yang berada di ketinggian 500-1500 dpl ini adalah masyarakat Bali asli atau Bali Aga. Mereka menyebut dirinya sebagai masyarakat Bali Turunan karena berkembang mitos bahwa mereka diturunkan langsung dari langit. Salah satu keunikan tradisi yang terdapat desa ini yang telah mendunia adalah sistem penguburannya. Masyarakat tidak menguburkan mayat secara penuh layaknya sistem penguburan pada masyarakat umumnya. Mereka hanya meletakkan mayat di atas tanah dengan wajah mayat dalam keadaan terbuka. Uniknya, mayat-mayat tersebut tidak mengeluarkan aroma busuk sedikitpun. Untuk menghindari gangguan hewan liar seperti anjing, mayat hanya dibatasi dengan bambu yang dijalin hingga membentuk prisma. Letak pemakaman ini berada di balik tebing sisi utara Desa Terunyan. Untuk mencapainya masyarakat maupun wisatawan harus menggunakan tarnsportasi air berupa perahu atau boat. 
Keunikan sistem pemakaman ini sudah terkenal hingga ke mancanegara sehingga tak heran pemakaman ini sering dikunjungi wisatawan asing. Yang menjadi daya tarik dari pemakaman ini adalah tidak terciumnya aroma busuk dari mayat-mayat tersebut. Konon, masyarakat mempercayai bahwa tidak keluarnya aroma busuk itu disebabkan adanya pohon yang mampu menyerap aroma busuk dari mayat. Dalam istilah mereka pohon itu disebut Taru Menyan. Inilah yang menjadi asal usul nama Desa Terunyan. Taru berarti pohon dan Menyan berarti harum, dengan kata lain berarti pohon yang mengeluarkan aroma harum. Konon, keharuman pohon inilah yang mampu menyerap bau busuk yang keluar dari mayat. Pohon ini tepat berada di pemakaman atau dalam istilah mereka disebut Setra Wayah. 
Ada beberapa mitos yang menyelimuti sistem pemakaman masyarakat Desa Terunyan. Jumlah kuburan atau mayat yang berada di pemakaman ini dari jaman dahulu hingga saat ini tetap yaitu 7 buah. Hal ini dikaitkan dengan jumlah tumpang atau meru pada pelinggih atau bangunan suci tempat berstananya Ratu Gede Pancering Jagad Bali. Ratu Gede Pancering Jagad Bali adalah dewa tertinggi dalam kepercayaan masarakat Desa Terunyan. Pelinngih ini berada di Pura Desa yang terletak di Banjar Terunyan. Untuk tetap mempertahankan jumlah kuburan, mayat yang telah berumur paling tua akan dibersihkan. Tulang belulang serta tengkoraknya diletakkan di sebuah altar yang berada di sisi kanan pohon Taru Menyan. Mayat baru yang hendak dikubur diletakkan di kuburan yang telah dibesihkan itu sehingga jumlahnya tetap tujuh buah. 
Altar tempat tengkorat mayat yang sudah dibersihkan

Mayat yang dikuburkan di Setra Wayah ini tidak sembarangan. Masyarakat yang meninggal secara wajar saja yang bisa dikuburkan di tempat ini. Yang bisa dikuburkan di tempat ini adalah masyarakat yang meninggal karena usia lanjut. Orang meninggal secara tidak wajar seperti karena sakit atau kecelakaan (salah pati maupun ulah pati) akan dikuburkan di kuburan khusus yaitu di Setra Madya. Sistem penguburannya mayat dikuburkan secara penuh layaknya sistem penguburan pada umumnya. Setra Madya terletak tidak jauh dari Setra Wayah. Untuk mencapainya juga menggunakan perahu atau boat. Selain kedua Setra tadi, ada juga satu setra yang peruntukkan bagi balita. Setra ini disebut Setra Alit yang berada di satu areal dengan Setra Madya. 
Mitos lain yang berkembang adalah kaum perempuan asli  Desa Terunyan tidak diperbolehkan mengunjungi Setra Wayah. Sampai saat ini masyarakat Terunyan belum mengetahui alasannya namun mereka tetap menjalankan tradisi yang diwariskan secara turun temurun tersebut. Ketika ada upacara kematian, yang mengantarkan mayat ke kuburan hanyalah kaum lelaki. Sementara para perempuan hanya bisa mengantar sampai di dermaga yang berada tepat di depan desa. Mitos lainnya adalah perempuan yang sedang dalam keadaan haid dilarang mengunjungi kawasan ini. Bagi masyarakat Desa Terunyan, Setra Wayah adalah kawasan yang disucikan. Untuk itulah agar tetap menjaga kesucian kawasan setra, masyarakat melarang wisatawan yang sedang menstruasi berkunjung ke tempat ini. Selain itu, wisatawan yang sudah selesai berkunjung ke kawasan Setra Wayah disarankan agar mencuci wajah dengan air Danau Batur untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Masyarakat juga melarang wisatawan berkunjung ke Kuburan di atas jam 6 sore.
Setra Wayah: tempat berdirinya pohon Taru Menyan.
Mitos yang terakhir adalah pengunjung kuburan ini dilarang keras mengambil apapun dari kawasan ini untuk dibawa pulang. Pengunjung dilarang memotong, memetik atau merusak pohon Taru Menyan yang sangat disucikan warga. Bahkan sampai saat inipun belum diketahui jenis pohon tersebut karena belum adanya penelitian mengenai karakteristik pohon Taru Menyan. Hal ini bisa dimaklumi mengingat masyarakat tidak mengijinkan siapapun memetik dan membawa pulang dahan ataupun daun dari pohon ini. Selain itu, pengunjung dilarang membawa tengkorang maupun tulang belulang yang berada di areal Setra untuk dibawa pulang. Pengunjung hanya diperbolehkan menyentuh dan memegang untuk sekedar berfoto. Salah seorang warga menuturkan, beberapa tahun silam pernah seorang wisatawan dari Jawa datang dan membawa tengkorak tanpa sepengetahuan warga sebagai oleh-oleh. Tengkorak ini berhasil dibawa sampai ke luar desa. Hanya saja saat sampai di Pelabuhan Gilimanuk, ketika berada di kapal yang ditumpanginya, wisatawan ini kesurupan dan berontak. Akhirnya tengkorak tersebut dikembalikan lagi ke kuburan. Wisatawan ini akhirnya diminta agar menggelar upacara Guru Piduka sebagai tanda permohonan maaf atas kesalahannya. Meskipun berbeda keyakinan, ia bersedia mengikuti dan melaksanakan upacara tersebut.  

4 komentar:

  1. kalau mau kesana apakah ada biayanya?

    BalasHapus
  2. untuk ke kuburannya gak dikenakan biaya, hanya saja menuju ke kuburan harus menggunakan boat atau sampan dari dermaga kedisan atau terunyan. biaya sewa atau samapn sekitar 250ribu per boat atau sampan dan bisa dinaiki sampai dengan 8 orang. kalau saya meyarankan lebih asyik jika naik dari dermaga terunyan agar kita bisa berinteraksi langsung dengan warga terunyan, meski medan menuju ke terunyan sangat dahsyat menantang adrenalin. tapi di sanalah letak serunya jika mampir ke desa tua ini. selamat mencoba,,,,

    BalasHapus
  3. kemungkinan kalau aku kesana dari denpasar ngeluarin berapa duit bray?? seperti yang di ungkapkan teman-teman yang sudah pernah kesana, biayanya kesana itu mahal

    BalasHapus
  4. yah kalo datang sebagai wisatawan emang bakal diporotin. bilang saja ingin penelitian, mereka pasti menyambut kita. apalagi kalo bilang dari anak antropologi, mereka pasti respek. kebetulan Antropologi Udayana sudah kenal baik dengan aparat desa dan wagranya karena kami beberapa kali mengadakan kegiatan di sana, penelitian kah, pengabdian kan, seminar kah,,, jadi kalo bareng kami pasting gampang.

    BalasHapus