Sabtu, 30 November 2013

Makna 'Siri' bagi Masyarakat Bugis Makassar

Cerita ini dimulai ketika pertama kali saya sampai di tanah Daeng, Makassar. Sesaat setelah sampai saya dijemput sahabat, teman, kawan dan kerabat dari Universitas Hassanudin. Mengetahui saya berasal dari Bali yang terkenal dengan arak Balinya, sayapun disuguhkan minuman penghangat khas dari tanah Sulawesi Selatan, Ballo. Warnanya putih layaknya tuak yang sering saya tenggak ketika berada di kampung halaman. Sebotol air mineral berukuran besar yang terisi dengan ballo sudah berada dihadapan kami. Mengingat saya bukan orang lokal disana, saya mencoba mengikuti aturan di daerah tersebut mengenai prosesi minumnya. Saya akui teman saya bukanlah peminum, namun karena menghormati saya sebagai tamu, merekapun ikut nimbrung dan sesekali menenggak arak khas Makassar itu. Karena sudah terbiasa, saya sering sekali meminum satu gelas penuh ballo yang sudah dituangkan dalam gelas. Maklum, ini tradisi saya ketika ‘berlayar’ di Bali. ketika gelas yang sudah terisi ballo mampir ke salah seorang teman saya, dia hanya menenggaknya sebagian. Saya bisa memahami karena memang ini bukan tradisinya. Secara spontan, teman saya yang lain nyeletuk dengan bilang “ ini siri lo jika tidak dihabiskan” dengan logat khas makassarnya. Dia sih bukan orang Makassar tapi orang Barru. Di forum inilah saya mendengar pertama kali kata ‘siri’. Dalam otak saya mungkin kata siri itu artinya memalukan karena tidak bisa menghabiskan ballo segelas, dan pamali kalo di buang karena dalam tradisi saya, ketika gelas sudah ditenggak, sisanya akan dibuang. Ternyata konsep siri bagi mereka tidak sedangkal itu.
Siri dalam masyarakat Bugis-Makassar merupakan kehormatan yang harus dijaga bahkan sampai darah penghabisan (Menurut teman saya). B.F. Matthes memberikan pengertian siri sebagai rasa malu, ketika kehormatannya merasa dilecehkan dan tersinggung dan sebagainya. C. H. Salam Basjah memberikan pengertian siri dalam tiga hal yang meliputi malu, motivasi untuk membinasakan siapa saja yang mempermalukan keluarga, dan daya dorong untuk bekerja dan berusaha sebanyak mungkin (Mattulada, Dalam Koenjtaraningrat 2007). Dalam film ‘ Badik Titipan Ayah’ karya  Dedi Mizwar juga menenpatkan  konsep Siri sebagai sesuatu yang sangat menodai keluarga Bugis. Bahkan jalur kekerasan dtempuh ole keluarga Karaeng untuk menebus apa yang telah dilakukan anaknya beserta pacarnya yang telah melakukan ‘Palariang’ yaitu kawin lari tanpa sepengetahuan dan restu dari kedua orang tua.
Bagi orang Bugis, Siri merupakan sesuatu yang sangat memalukan. Mereka akan melakukan apa saja untuk membalas seseorang yang telah melecehkan dan menginjak-nginjak kehormatan mereka. Tidak terkecuali kekerasan. Teman saya pernah bercerita di sebuah desa pernah terjadi pembunuhan karena alasan siri. Secara hukum dan hak asasi manusia hal tersebut sudah tentu tidak dibenarkan. Namun bagi keluarga dan masyarakat Bugis hal itu wajar-wajar saja. Bahkan warga sekampung mendemo aparat kepolisian karena menahan orang yang membunuh tersebut. Mereka berpendapat bahwa apa yang dilakukan si pelaku sudah tepat karena itu sudah adat.
Bercermin dari cerita teman saya tersebut, saya yakin warga Bugis tidak menginginkan pertumpahan darah terjadi hanya karena dianggap siri. Saya yakin orang Bugis cinta damai dan tidak suka kekerasan. Namun hal tersebut juga tidak bisa disalahkan begitu saja, karena ini memang tradisi dimana masyarakat Bugis sangat menjunjung tinggi norma dan adat yang diwariskan. Hanya saja ketika jalur kekerasan dipilih, ini sudah tidak wajar lagi. Sekali lagi jika ini dikaitkan dengan hukum normatif dan hak asasi manusia, maka pembunuhan tetap saja bukan jalan keluar.
Siri dalam masyarakat Bugis memiliki filsafat yang luar biasa jika masyarakat Bugis bisa memahaminya. Saya yakin nenek moyang orang Bugis menciptakan konsep Siri sebagai sebuah falsafah hidup untuk menjaga keharmonisan masyarakat. Dalam istilah kerennya disebut kontrol sosial. Setiap orang pasti memiliki rasa malu. Ini alamiah. Ketika rasa malu itu datang setiap orang akan berusaha untuk mereflesikan diri kenapa hal tersebut bisa terjadi. Setelah itu dia akan berusaha untuk mempelajari kesalahan dalam dirinya yang menyebabkan dia malu. Orang tersebut pasti akan berusa belajar dari pengalaman sehingga rasa malu tidak muncul dikemudian hari. Contoh kecilnya adalah ketika seorang anak SD berpakaian pramuka ketika upacara bendera hari senin. Dari kesalahannya itu setidaknya dia belajar bahwa pada saat hari senin harus berpakaian seragam merah putih. Begitu pula teman-temannya pastilah akan mengingatkan kesalahan yang telah diperbuat anak tersebut.
Bercermin dari contoh kecil itu setidaknya orang Bugis bisa memaknai kata siri itu sebagai media pembelajaran. Kata siri seharusnya tidak dimaknai seekstrem itu sehingga terjadi kekerasan. Semua orang memiliki rasa malu, tetapi bukan berarti malu itu dijadikan kambing hitam sehingga muncul dendam, benci dan sebagainya. Saya meyakini leluhur orang Bugis mengkonstruksikan siri itu sebagai kontrol sosial agar kita tidak melakukan kesalahan di kemudian hari. Seseorang wajib menjaga kehormatan diri, keluarga, bangsa dan Negara. Begitu pula orang Bugis diharamkan menginjak kehormatan orang lain. Ajaran ini begitu adi luhung juka dipahami secara bijak. Setidaknya ketika siri itu muncul, kita harus berfikir kenapa itu bisa muncul. Tidak mentang-mentang menyalahkan orang yang telah melakukan siri tersebut. Dengan menelusuri latar belakang siri tersebut, tidak menutup kemungkinan kesalahan ada pada diri kita. Dengan mengetahui hal tersebut kita bisa belajar untuk tidak melakukan hal tersebut.
Kembali ke cerita dalam film ‘Badik Titipan Ayah’. Andai saja Daeng Karaeng bisa mengetahui kesalannya sehingga anaknya melakukan palariang, mungkin hidupnya bisa lebih panjang dan bisa melihat cucu pertamanya tumbuh dan berkembang. Bukan malah berfikir kalau itu adalah siri dan orang yang melarikan anaknya harus mati dengan badik warisan keluarga tersebut. Pada akhirnya yang meninggal adalah dia sendiri. Andai saja Daeng Karaeng bisa memahami bagaimana perasaan anaknya dan sedikit menyingkirkan egonya, niscaya hal tersebut tidak terjadi. Padahal, akar pemasalahanya adalah kisah klasik bak Romeo dan Juliet, dimana keluarga Daeng Karaeng pernah memiliki masalah dengan keluarga besar calon menantunya itu sehingga ia tidak menyetujui perkawinan tersebut.
Siri jika dipahami sebagai falsafah hidup merupakan ajaran yang luar biasa. Siapa sih yang ingin dipermalukan?  Hanya saja bagaimana kita menanggapi rasa malu itu secara bijak. Bukan malah menimbulkan dendam benci dan sebagainya. Bukankah hidup damai itu indah? Bukan begitu Ji? Ia toh?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar