Sabtu, 01 Februari 2014

Bordah: Kesenian Kolaborasi Budaya Islam dan Bali dari Pegayaman


Siang itu di tengah kerasnya terik matahari membakar kulit, suara adzan dari arah masjid jamik Singaraja terdengar begitu riuh ditengah kemacetan jalan Imam Bonjol Singaraja. Maklum saja, saat itu umat muslim sedang menjalankan kewajibannya untuk melakukan sholat jumat. Para jemaahpun mulai berdatangan dari segala penjuru yang semakin menambah kemacetan. Badan jalan sebagian dipergunakan umat untuk memarkirkan kendaraan yang digunakan. Dengan menggunakan pakaian sholat, serta sajadah yang digantungkan di pundak, umat mulai memasuki halaman masjid. Suasana berbeda mulai pecah ketika rombongan yang berpakaian layaknya orang Bali masuk ke dalam masjid. Dengan menggunakan seragam baju hijau muda, kain atau lancingan serta udeng layaknya orang Bali yang hendak bersembahyang ke pura mereka memasuki kawasan masjid untuk ikut serta dalam kegiatan sholat jumata. Terlihat agak ganjil memang jika tidak terbiasa beribadah di masjid ini. Jemaah yang lainpun seolah cuek tidak memperdulikan mereka. Mungkin karena sudah mengetahui dan terbiasa atau sikap apatis umat yang berlebihan sehingga tidak ada respon sedikitpun. Rombongan yang terdiri dari 10 orang dewasa ini kemudian mengikuti jalannya sholat jumat dengan khusuk. Seusainya, saya menghampiri mereka. Mereka ternyata adalah sekaa Bordah asal Pegayaman yang akan pentas di sebuah acara pernikahan di kampung Bugis Singaraja. Dengan mengendarai pick up terbuka, merekapun melanjutkan perjalanan menuju lokasi hajatan. Tak mau ketinggalan momen ini, sayapun memutuskan untuk mengikuti mereka. Tentunya sudah mendapat izin dari mereka.

Bordah merupakan salah satu kesenian yang berasal dan berkembang di Desa Pegayaman. Kesenian ini sudah ada sejak 1886 silam. Seni ini merupakan seni vokal yang diiringi dengan alat musik yang disebut borde. Seni yang bernuansa Islami ini dipadupadankan dengan budaya Hindu-Bali. Kesenian ini diduga satu-satunya kesenian yang hanya ada di Desa Pegayaman.
Pegayaman merupakan salah satu desa yang terletak di pedalaman yang merupakan bagian dari wilayah administratif Kecamatan Sukasada, Buleleng. Desa ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan desa lainnya di Buleleng. Hampir 90% warga Pegayaman menganut agama Islam. Mereka sudah menempati kawasan perbukitan ini sejak akhir abad XVI silam. Meskipun minoritas, mereka begitu taat dalam menjalankan ajaran Islam.

Saking lamanya tinggal di kawasan yang mayoritas beragama Hindu-Bali, lambat laun mereka menyerap dan mengolaborasikan budaya Bali dalam kehidupan kesehariannya. Hal yang paling nyata dapat kita lihat dalam kesenian Bordah. Kesenian ini berlafaskan Islam namun dikemas dengan Budaya Bali. Dari kostum yang digunakan, hampir tidak berbeda dengan masyarakat Hindu yang hendak bersembahyang ke Pura. Lantunan syair yang dikumandangkan beserta alat musiknya sangat kental dengan ajaran Islami. Syair yang dinyanyikan dipetik dari kitab Al-Berjanzi. Kitab ini menceritakan perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir dalam Islam. Sementara alat musik yang mengiringi menyerupai rebana dengan ukuran yang super besar. Beratnya saja bisa mencapai 10 kilogram.

Wayan Hasyim, budayawan sekaligus pelaku seni Bordah menuturkan kesenian ini dibawa oleh leluhur mereka yang berasal dari tanah Bugis, Sulawesi. Salah satu Penglingsir di Pegayaman ini juga sempat menelusuri asal muasal dari alat musik ini dan mengatakan “Pada awalnya, Burde ini merupakan genderang yang digunakan oleh orang tiongkok dalam peperangan. Selanjutnya alat musik ini sampai ke kerajaan Bone di Makassar. Dari sinilah asal muasal kesenian Bordah, mengingat nenek moyang kami juga berasal dari Bugis”. Sesampainya di Bali, kesenian ini mendapat sentuhan budaya Bali mengingat leluhur mereka terutama kaum ibu berasal dari suku Bali. “Kemungkinan saat itu ketika mau pentas, mereka bingung mau menggunakan kostum apa. Jadilah mereka menggunakan pakaian adat Bali yang diberikan oleh Ibu-ibu” tambahnya sembari tertawa ringan.
Selain pakaian, lantunan syair kitab Al-berzanji juga mirip dengan kidung atau nyanyian suci orang Bali saat menggelar upacara yadnya. Tidak terlihat sama sekali lafal lidah arab dalam mengumandangkannya. Hal ini berbeda jauh dengan budaya Islam lainnya yang ‘Arabsentris’ ketika membaca ayat-ayat suci. Dalam permainannya juga mirip dengan budaya Bali yaitu makekawain (kidung yang menduduki posisi paling tinggi atau sekar agung). Secara bergantian mereka membawakan satu persatu bait yang terdapat dalam kitab tersebut. Selain sebagai hiburan, kesenian ini juga kerap diguanakan untuk proses penyembuhan. “Jika ada warga yang sakit keras, biasanya mereka mengundang kami untuk melantunkan ayat-ayat yang ada di kitab Al-berjanzi. Kami kemudian bernyanyi di depan orang sakit tersebut. Biasanya jika Allah menghendaki dia sembuh, dia akan segera sembuh setelah tiga hari. Begitu pula sebaliknya, jika dia sudah ditakdirkan meninggal, maka setelah tiga hari dia akan meninggal dunia” tutur Makmun ketua sekaa Bordah Kubu Lebah.

Borde terbuat dari pangkal pohon kelapa sacara utuh. Dengan diameter mencapai 55 centimeter dan tinggi 10 centimeter, bagian dalam kayu kelapa tersebut dibersihkan. Bagian atas dan bawah juga dilubangi sehingga yang tersisa bagian kulit saja. Bagian atas kemudian dipasangkan kulit sapi atau kerbau yang sudah menjalani prosesi pengolahan sebelumnya. Untuk mengeratkannya digunakan penyali (kayu rotan) sehingga kulit bisa menghasilkan suara. Sekaa Bordah di  Pegayaman biasanya membuat sendiri alat musik tersebut. Saat ini terdapat 4 sekaa Bordah yang bertahan di desa Pegayaman.

Kesenian Bordah biasanya ditampilkan ketika ada hajatan seperti pernikahan, sunatan dan maulidan di desa Pegayaman. Fungsinya hanya sebagai penyemarak kegiatan. Seperti yang dilakukan oleh Sekaa Bordah Kubu Lebah saat diundang dalam pesta pernikahan di Kampung Bugis Singaraja pada 18 Oktober 2013 silam. Namun saat Maulid, kesenian ini wajib ditampilkan semalaman penuh hingga matahari tanggal 13 rabiul awal muncul.

Meski sering berpartisipasi dalam kegiatan pemerintah seperti mewakili kabupaten dalam kegiatan Pesta Kesenian Bali, tampil dalam pameran Pembangunan yang kerap digelar saat 17 agustus, namun pemerintah seolah tutup mata dengan kesenian ini. “Sampai saat ini kami belum pernah mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah, padahal kami sering pentas dalam kegiatan pemerintahan. Kami tetap bertahan karena tidak mau meninggalkan warisan leluhur kami” keluh Mukmin (65). Selain itu partisipasi kaum muda juga sangat minim. Kebanyakan warga yang tergabung dalam sekaa Bordah adalah kaum tua. Jika keadaan ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan beberapa dekade lagi, seni yang mengkampanyekan semangat pluralisme tinggal cerita. Jika tidak ingin seperti itu, pemerintah harus ikut andil dong!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar