(Kesenian Bordah, Seni Kolaborasi Budaya Bali dan Islam)
Masyarakat Islam Pegayaman merupakan representasi desa tua yang sudah berdiri sejak zaman Kerajaan Buleleng dengan rajanya Ki Barak Panji Sakti. Keberadaan mereka tidak bisa terlepas dari gejolak peta perpolitikan Raja Ki Barak Panji Sakti. Pada tahun 1968 Ki Barak Panji Sakti melakukan ekspedisi ke Jawa untuk menyerang Kerajaan Blambangan sebagai uji coba pasukan Taruna Goaknya. Pada saat yang sama, pasukan Kerajaan Mataram Islam yang dipimpin oleh Tumenggung Danupaya juga hendak melakukan serangan ke Blambangan. Pergolakan politik di Kerajaan Mataram yang sedang mengalami berbagai pemberontakan terutama Pangeran Alit, adik dari Sultan Agung menyebabkan kekuatan untuk menaklukkan Blambangan tidak penuh. Sebagian pasukan harus berada di Kerajaan Mataram untuk mengantisipasi pemberontakan. Panji Sakti mengetahui kondisi ini dan berniat melakukan kerjasama dengan pasukan Mataram untuk menggempur Blambangan. Di tengah perjalanan, pasukan Panji Sakti bertemu dengan pasukan Mataram dan segera melalukan perundingan. Panji Sakti menawarkan kerja sama dengan Tumenggung Danupaya untuk menggempur Blambangan. Tawaran itu diterima mengingat kekuatan pasukan Mataram yang melakukan ekspedisi tidak penuh. Kolaborasi kekuatan Panji Sakti dan Tumenggung Danupaya berhasil menggempur Blambangan. Sebagai bentuk balas jasa, Tumenggung Danupaya menghadiahi Ki Barak Panji Sakti sekawanan gajah dan 100 orang Parjurit yang merupakan rampasan dari Kerajaan Blambangan. Keseratus prajurit yang beragama islam inilah yang mejadi cikal bakal terbentuknya komunitas Islam di Buleleng (Sastrodiwiryo, 2011: 108-111).
Suatu
malam, Raja Buleleng melakukan inspeksi lapangan untuk mengecek kondisi
prajurit Islam yang berada di Banjar Jawa pada malam hari. Pada saat kunjungan
tersebut, Raja Buleleng merasa kaget melihat salah seorang prajurit Islam yang
sedang terlelap tidur. Raja Buleleng melihat sinar atau cahaya yang begitu
terang memancar dari dahi salah seorang prajurit. Pada saat itu raja tidak
melakukan tindakan apapun. Paska kejadian itu, Raja Buleleng merasa gelisah dan
cemas. Raja mengkhawatirkan para prajurit Islam ini memiliki kekuatan supra
natural yang tinggi dan berpotensi melakukan penggulingan kekuasaan. Bersama
para punggawanya Raja Buleleng terus berfikir dan berdiskusi untuk mengatasi
kekhawatiran ini. Mereka akhirnya merencanakan untuk melakukan penyingkiran
kelompok prajurit Islam ini. Prajurit Islam ini kemudian ditawarkan untuk
membabat hutan di daerah selatan Kerajaan Buleleng. Hutan ini terkenal sangat
angker yang disebut sebagai Alas
Pegatepan. Beberapa orang sakti sempat dikirim ke tempat ini untuk
melakukan pembabatan hutan namun akhirnya meninggal dan tidak kembali lagi. Kekuatan
supra natural yang dimiliki oleh prajurit Islam ini diharapkan mampu membuka
hutan tersebut sebagai benteng pertahanan kerajaan dari sisi selatan. Raja
membebaskan membuka hutan seluas-luasnya untuk digunakan sebagai daerah
pemukiman tempat tinggal. Tawaran ini disambut gembira oleh parajurit Islam
Jawa ini dan segera melalukan persiapan untuk membabat Alas Pegatepan. Prajurit ini kemudian berhasil membuka hutan dan
akhirnya mendiami wilayah Alas Pegatepan ini sebagai tempat tinggal. Di
daerah baru ini mereka mengemban tugas sebagai tameng kerajaan Buleleng jika
suatu ada serangan dari arah selatan dan sekaligus sebagai pasukan tambahan
jika hendak melakukan ekspansi ke kerajaan lain (Jayadi, 2001: 35-36).
Versi lain mengatakan bahwa sekelompok prajurit hadiah Kerajaan Mataram ini merupakan pasukan perang dari Kerajaan Mataram sebagai hadiah untuk Ki Barak Panji Sakti. Hadiah ini diberikan sebagai bentuk diplomasi Kerajaan Mataram untuk menyepakati gencatan senjata dengan Kerajaan Buleleng. Gencatan senjata ini dilakukan untuk menghindari serangan lebih lanjut dari Kerajaan Buleleng paska gugurnya Ki Gusti Danudresta di tangan pasukan Mataram pada saat ekspedisi pertama Kerajaan Buleleng ke tanah Jawa (Jayadi, 2001:32-35). Mataram merasa khawatir jika Kerajaan Buleleng melakukan serangan mengingat terjadi konflik internal dimana pasukan perang harus berkonsentrasi terhadap kondisi intern kerajaan. Sesampai di Buleleng, parjurit Islam ini ditempatkan di wilayah yang saat ini disebut Banjar Jawa. Sebagian orang Jawa ini ditugaskan merawat gajah. Kandang gajah ini berbentuk petak-petak sehingga saat ini lokasi kandang ini disebut sebagai Banjar Petak. Di sebelah utara kandang gajah, terdapat tempat yang digunakan oleh kawanan gajah ini untuk bermain dan saat ini lokasi ini disebut sebagai Banjar Peguyangan (guyang berarti berguling di tanah). Di daerah muara Tukad Banyumala di pantai utara merupakan tempat yang digunakan untuk memandikan gajah dan saat ini lokasi ini disebut sebagai Pantai Lingga (Sastrodiwiryo, 2011: 110). Selain bertugas mengurus gajah, orang Jawa ini juga bertugas sebagai pasukan perang yang disiagakan apabila terjadi serangan dari kerajaan lain.
Versi lain mengatakan bahwa sekelompok prajurit hadiah Kerajaan Mataram ini merupakan pasukan perang dari Kerajaan Mataram sebagai hadiah untuk Ki Barak Panji Sakti. Hadiah ini diberikan sebagai bentuk diplomasi Kerajaan Mataram untuk menyepakati gencatan senjata dengan Kerajaan Buleleng. Gencatan senjata ini dilakukan untuk menghindari serangan lebih lanjut dari Kerajaan Buleleng paska gugurnya Ki Gusti Danudresta di tangan pasukan Mataram pada saat ekspedisi pertama Kerajaan Buleleng ke tanah Jawa (Jayadi, 2001:32-35). Mataram merasa khawatir jika Kerajaan Buleleng melakukan serangan mengingat terjadi konflik internal dimana pasukan perang harus berkonsentrasi terhadap kondisi intern kerajaan. Sesampai di Buleleng, parjurit Islam ini ditempatkan di wilayah yang saat ini disebut Banjar Jawa. Sebagian orang Jawa ini ditugaskan merawat gajah. Kandang gajah ini berbentuk petak-petak sehingga saat ini lokasi kandang ini disebut sebagai Banjar Petak. Di sebelah utara kandang gajah, terdapat tempat yang digunakan oleh kawanan gajah ini untuk bermain dan saat ini lokasi ini disebut sebagai Banjar Peguyangan (guyang berarti berguling di tanah). Di daerah muara Tukad Banyumala di pantai utara merupakan tempat yang digunakan untuk memandikan gajah dan saat ini lokasi ini disebut sebagai Pantai Lingga (Sastrodiwiryo, 2011: 110). Selain bertugas mengurus gajah, orang Jawa ini juga bertugas sebagai pasukan perang yang disiagakan apabila terjadi serangan dari kerajaan lain.
Pada
tahun 1850, sebuah kapal dari Kerajaan Bugis-Makassar yang dipimpin oleh
Karaeng Galessong terdampar di perairan Buleleng. Ekspedisi kapal ini awalnya
bertujuan ke wilayah Jawa dan Madura yang hendak meminta perlindungan akibat
konflik internal yang terjadi di Kerajaan Bugis-Makassar. Akibat cuaca buruk
dan kurangnya peralatan navigasi yang memadai, mereka akhirnya terdampar di
perairan Buleleng. Karena adanya hak tawan karang, keseluran isi kapal dan awak
kapal menjadi hak miliki Kerajaan Buleleng (Jayadi, 2001:36). Mengingat
kondisinya terdampar, para awak kapal akhirnya menghadap Raja Buleleng untuk
memberitahukan kondisi mereka. Atas itikad baik para pelaut beretnis Bugis ini,
Raja Buleleng menerima mereka dan memberikan dua pilihan yakni tinggal di
daerah pesisir atau bergabung dengan masyarakat Pegayaman. Sebagian memilih
menetap di pesisir Buleleng yang sekarang disebut sebagai Kampung Bugis karena
memiliki keahlian dalam bidang kemaritiman. Sebagian lainnya bergabung dengan
masyarakat Islam Pegayaman karena memiliki kesamaan dalam bidang agama yakni
Agama Islam. Bergabungnya kelompok Islam Bugis ini di Kerajaan Buleleng
diharapkan mampu memperkuat pasukan kerajaan.
Interaksi
yang intens antara kelompok Muslim Jawa dan Bugis di Pegayaman baik setelah
berada di Desa Pegayaman maupun di Banjar Jawa menyebabkan sebagian dari mereka
melakukan perkawinan amalgamasi. Banyak dari prajurit Islam ini mempersunting
gadis Bali bahkan salah seorang diantaranya adalah keturunan dari Ki Barak Panji
Sakti. Para gadis Bali ini kemudian mengkonversi agama dan memeluk agama Islam
mengikuti suami. Dari perkawinan lintas etnis inilah sampai saat ini masyarakat
Pegayaman meyakini bahwa kondisi etnisitas mereka terdiri dari tiga etnis besar
yakni Jawa, Bugis dan Bali. Saat ini masyarakat Pegayaman tidak bisa
mengindentifikasi etnis mereka karena percampuran ketiga etnis tersebut sudah
berlangsung selama ratusan tahun. Mereka meyakini bahwa orang Pegayaman yang
bekerja di bidang pemerintahan atau politik memiliki gen atau darah Bugis yang
dominan. Sementara orang yang bekerja pada sektor pertanian atau agraris
diyakini memiliki darah Jawa dan Bali yang lebih dominan. Dominasi budaya Bali
yang ditampilkan oleh masyarakat Islam Pegayaman tidak terlepas dari kelompok
perempuan atau ibu-ibu yang berasal dari etnis Bali. Masyarakat Pegayaman
meyakini bahwa terjadi kesepakan ketika pemuda Islam mempersunting gadis Bali.
Gadis Bali bersedia menikah dan menjadi muallaf
asalkan mereka tetap menggunakan atribut-atribut budaya Bali. Selain itu,
proses pengasuhan anak-anak Pegayaman lebih banyak dilakukan oleh kaum ibu
mengningat para bapak lebih banyak beraktivitas di luar rumah seperti kebun
atau sawah. Dalam proses internalisasi inilah budaya Bali ditanamkan pada
anak-anak Pegayaman sehingga terbentuklah masyarakat Islam yang mempraktekkan
budaya Bali. Percampuran budaya Bali dalam komunitas Islam ini merupakan bentuk
strategi adaptif mereka agar mereka tetap diterima oleh masyarakat mayoritas
(Budarsa, 2014). Inklusifitas masyarakat islam Pegayaman mengantarkan mereka
menjadi bagian dari kelompok Islam Tradisional atau Islam Nusantara yakni
masyarakat Islam yang masih mempraktekkan budaya dan tradisi lokal selama tidak
bertentangan dengan kaidah – kaidah ajaran Islam.
Mengenai asal-usul nama Pegayaman, peneliti
menemukan dua versi cerita yang membentuknya. Versi pertama mengatakan bahwa
nama Pegayaman berasal dari hutan gatep atau
Alas Gatep. Dulu sebelum dibuka
menjadi pemukiman, wilayah Desa Pegayaman merupakan hutan yang dipenuhi dengan
pohon gatep atau dalam bahasa Jawa
disebut gayam. Gatep atau Inocarpus fagifer merupakan jenis
tumbuhan suku polong-polongan yang bisa tumbuh sampai 20 meter dengan diameter
4 hingga 6 meter. Pohon ini menghasilkan buah dengan tekstur keras dan bisa
dikonsumsi. Untuk mengkonsumsinya diperlukan proses perebusan untuk melunakkan
daging buah serta menghilangkan racun saponin yang terkandung di dalamnya
(wikipedia.org, diakses pada 5 November 2019). Prajurit yang berasal dari Jawa
lebih akrab dengan istilah gayam daripada
gatep sehingga mereka menyebut daerah
mereka dengan nama Pegayaman. Versi kedua berasal dari salah satu nama keris
yang sampai saat ini masih eksis di Jawa. Keris tersebut bernama Keris Gayaman.
Menurut penelusuran Wayan Hasyim (alm) salah seorang penglingsir Desa Pegayaman, di Keraton Surakarta terdapat keris Gayaman
sebagai salah satu keris koleksi keraton. Keraton Surakarta merupakan salah
satu tinggalan dari Kerajaan Mataram Islam dan merupakan asal leluhur orang
Pegayaman. Dulu semua prajurit di Kerajaan Mataram memiliki keris Gayaman
sebagai senjata untuk pertahanan diri. Wayan Hasyim meyakini semua prajurit
yang berasal dari Mataram membawa keris Gayaman ke Bali. Untuk mengingat nama
keris serta asal leluhur, mereka kemudian menamai desanya dengan nama
Pegayaman. Sampai saat ini pusaka keris Gayaman tidak ditemukan di Desa
Pegayaman mengingat jauhnya generasi pertama mereka dengan generasi saat ini.
Meskipun demikan, masyarakat Pegayaman meyakini bahwa nama Desa Pegayaman ada
kaitannya dengan Pusaka Keris Gayaman yang sampai saat ini tersimpan di Museum
Keraton Surakarta.
Referensi
Hasyim, Wayan. 2006. Sejarah Singkat Desa Pegayaman
Panji, I Gusti Ngurah. 2010. Sejarah Buleleng. Singaraja: Pemerintah Kabupaten Buleleng UPTD
Gedong Kirtya
Jayadi, Ketut Raji. Tanpa Tahun. Desa Pegayaman: Kota Santri di Pulau Bali
Sastrodiwiryo, Soegianto. 2011. I Gusti Anglurah Panji Saki, Raja Buleleng: 1599-1680. Denpasar: Pustaka Bali Post
Gede Budarsa (081999246508)